Persoalan covid-19 sampai sekarang masih belum selesai. Bukannya berkurang, jumlah kasusnya justru semakin melonjak. Berdasarkan laporan data pada akun twitter @BNPB_Indonesia, Minggu (27/9) sore, tercatat ada 3.874 kasus baru. Dengan demikian, maka total kasus virus corona di Indonesia menjadi 275.213 orang. Sementara untuk pasien yang sudah sembuh sebanyak 203.014 dan yang meninggal sebanyak 10.386.
Dengan terus bertambahnya jumlah kasus, maka pemerintah, baik pusat, provinsi maupun daerah terus menggalakan agar masyarakat menerapkan kegiatan 3M, yaitu mencuci tangan, menggunakan masker, dan menjaga jarak.
Namun sayang, himbauan pemerintah sampai sekarang masih belum 'didengar' masyarakat. Ini terbukti dari razia masker yang digelar bersama tim gabungan, masih banyak para pengendara yang tidak menggunakan masker. Pertanyaanya, apakah razia masker ini efektif? Selanjutnya, apakah himbauan pemerintah itu benar-benar didengar oleh masyarakat.
Implikasi nyata dengan jumlah kasus yang terus bertambah, sejumlah negara akhirnya menutup pintu bagi warga negara Indonesia (WNI) yang akan berkunjung ke luar negeri.
Ini sebenarnya hal mudah, jika saja pemerintah kompak. Cukup di-kick balik. Tutup semua akses penghubung ke luar negeri, baik bandara maupun pelabuhan. Setiap warga negara asing (WNA) untuk sementara tidak boleh masuk. Selesai. Masalahnya, itu kembali kepada kebijakan pemerintah.
Dalam hal ini, saya tidak akan membahas hal itu. Saya cuma ingin mengupas protokol covid-19 dari perspektif lain. Yaitu memahami protokol covid-19 secara kontekstual. Atau dibalik narasi tekstualnya.
Hal ini sudah sedikit diulas oleh Hendra Hari Wahyudi dalam tulisannya yang berjudul Dosa Cuci Tangan dan Menutup Mulut yang tayang di www.ibmtimes.id April lalu. Dalam tulisannya tersebut, Hendra lebih menyoroti bahwa cuci tangan dan menutup mulut itu adalah perbuatan dosa.
Dalam tulisannya itu, cuci tangan yang menjadi dosa menurut Hendra adalah kita 'cuci tangan atau lepas serta mengabaikan tanggung jawab dari suatu kewajiban kita.
Padahal kita sebagai penentu suatu kebijakan. Tapi sayangnya, kita justru acuh dan tidak amanah terhadap tugas dan kewajiban kita. Sebaliknya, bukannya kita bertanggung jawab, justru kita malah melemparkan masalah itu kepada pihak lain.
Sementara, yang dimaksud dengan menutup mulut oleh Hendra adalah, ketika ada kemungkaran, kita justru hanya diam dan tidak menyampaikan kebenaran yang terjadi atas suatu masalah.
Memang, dalam memahami suatu kata atau kalimat, kita sebagai manusia tidak hanya cukup memahaminya secara tekstual saja. Sebaliknya, kita juga harus mampu memahaminya secara kontekstual.