Lihat ke Halaman Asli

Khoerul umam

Mahasiswa Syari'ah IAIN Purwokerto

Background Pemikiran

Diperbarui: 23 Juni 2020   11:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

"mas, nanti sore aku berkunjung ke rumah njenengan yo" Pinta Kyai Hanafi sebelum
menutup telepon.

kata-kata tadi terus terngiang dalam pikiran saya, bagaimana tidak! Kyai Hanafi adalah seorang 'alim yang terkenal akan keilmuannya dan kejernihan beliau dalam berfikir, beliau berkenan menyempatkan waktunya berkunjung ke rumah saya. Bukan maksud tidak menginginkan kedatangan beliau akan tetapi rumah yang ditempati saya mungkin tidak layak untuk menyambut beliau, bagaimana tidak! 

Dinding-dindingnya saja terbuat dari 'dabag' (bentuknya persis seperti karpet yang biasa digunakan di ruang tamu akan tetapi terbuat dari bambu yang sudah di tipiskan terlebih dahulu lalu di-anyam dengan menggunakan tangan kosong) dan atapnya terbuat dari daun-daun pohon kelapa yang sudah di-anyam, lantainya yang digunakanpun masih menggunakan lantai alami yang tidak perlu susah-susah
mengepelnya.

Kyai Hanafi, saya mengenal beliau ketika kami pernah sama-sama mondok di Pondok Pesantren Ihya Ulumaddin yang bertempat di Kesugihan Cilacap. Kami pernah satu kamar bareng sehingga pemikiran-pemikiran beliau saya sudah hafal betul dengan analisis-analisis kritis beliau, saya mengetahui hal tersebut lewat diskusi-diskusi kecil yang biasa kami lakukan setiap malam hari.

Pernah pada suatu hari, beliau mengatakan bahwa pemikiran seseorang dipengaruhi oleh kondisi dan lingkungan seorang tersebut dibesarkan, namun selain itu juga kesadaran intelektual dalam diri seseorang juga turut andil dalam membentuk pola pikir seseorang dan gagasan-gagasan pemikirannya.

Arti penting terhadap latar belakang pemikiran seseorang adalah adanya keyakinan bahwa munculnya intelektual adalah akibat dari pola interaksi bersama lingkungannya. Dari hal itu, muncul suatu ungkapan yang menyatakan bahwa seseorang adalah anak zaman dari kondisi dan lingkungan tempat manusia eksis dengan eksistensinya. Sebagai contoh mudahnya adalah kontemplasi yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di Gua Hira, yang mengantarkan Muhammad kepada pengalaman ruhaniyah yang hanya bisa dialami oleh para Nabi dan Rasul, 

pada hakikatnya merupakan perenungan terhadap kenyataan sosial yang ada dalam sosial masyarakat Arab yang timpang pada saat itu: sistem ekonomi yang menjadikan orang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, adanya konsep patriarki yang dijadikan pedoman sehingga wanita dianggap sebagai barang yang bisa dieksploitasi se'enak laki-laki, dan juga adanya politik yang dikuasi oleh klan-klan yang dominan. Maka wahyu yang diturunkan kepada Muhammad pada awal- awal kerasulan beliau adalah kritik sosial terhadap masyarakat Arab pada zaman itu; seperti diturunkannya suran al-Takatsur sebagai respon kepada orang-orang yang menimbun harta
kekayaan. 

Mendengar penjelasan tadi, saya mengatakan kepada beliau "kalau begitu apakah dapat ditarik pengertian bahwa al-Quran tidak fleksibel terhadap zaman? Mengingat al-Quran diturunkan sebagai kritik sosial pada masyarakat Arab pada waktu itu?" "ini nih, kenapa orang bisa saling menyalahkan dan membid'ahkan sesama. Cara berfikirnya antum salah, apakah bisa mengambil kesimpulan terhadap hakikat al-Quran padahal hanya mempelajari sedikit dari al-Quran?"

Mendengar hal itu, saya menyadari betapa bodohnya saya mengatakan hal seperti itu. "Apakah antum tahu bahwa al-Quran diturunkan dengan berbagai kondisi yang berbeda- beda?" tanya Kyai Hanafi. "belum pak yai" jawab saya sedikit merendah, memang harus saya akui meskipun Kyai Hanafi lebih muda 2 tahun dari saya akan tetapi keilmuan beliau lebih mendalam dari pada saya. "amiin jadi pak kyai, katanya doa'a pak kyai mandi (cepat dikabulkan)" jawab beliau dengan sedikit mencandai saya. 

"al-Quran pada setiap ayatnya diturunkan dengan kondisi yang berbeda-beda meskipun ada pengecualian, sebagai contoh penyimpangan akidah yang dilakukan masyarakat jahiliyah maka diturunkan surat al-Baqarah(21) utnuk menyembah Tuhan Allah, dan masih banyak ayat yang lain tentang penyimpngan akidah. Memang kalau kita melihatnya secara umum al- Quran diturunkan secara bertahap dalam pembahasannya mulai dari yang mendasar yaitu tentang akidah sampai pada taraf yang lebih luas seperti peperangan." Lanjut kyai Hanafi. "lalu, bagaimana pemahaman yang seharusnya dilakukan untuk bisa memahami al-Quran?" kataku menanggapi pernyataan beliau.

"Untuk memahami al-Quran kita harus menafsirkan al-Quran itu sendiri. Lalu pertanyaannyabagaimana cara menafsirkannya? Namun, sebelum menafsirkan kita harus mengetahui keautentikan al-Quran itu terlebih dahulu. Hal ini perlu dilakukan sehingga penafsiran al- Quran tidak hanya berkutat sebagaimana dewasa ini terjadi pada wilayah pemaknaan teks redaksinya, sehingga tindakan memaknai pesan Allah SWT didasarkan pada keautentikan redaksi al-Quran. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline