Lihat ke Halaman Asli

Sumpah Mahasiswa di Kota Sri Sultan

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia bersumpah

Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan

Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia bersumpah

Berbangsa yang satu, bangsa yang gandrung akan keadilan

Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia bersumpah

Berbahasa satu, bahasa kebenaran

Terdengar seperti isi dari Sumpah Pemuda tahun 1928 kan? Tidak tahu siapa yang pertama kali merancang isi dari Sumpah Mahasiswa yang sepertinya mulai dirancang pada saat menjelang peristiwa Reformasi 1998. Sumpah ini diserukan dengan amat serius, meresap di dada oleh para mahasiswa senior yang kemudian diikuti oleh kami, mahasiswa baru UIN Sunan Kalijaga pada saat OSPEK 2014. Perlu diketahui, untuk baris keenam dari sumpahnya, ada beberapa mahasiswa senior yang menyerukannya “Berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan”. Mungkin agar terasa lebih berirama dan lebih bersemangat daripada sebelumnya.

Sebagai kota yang dijuluki sebagai “Kota Pelajar” (saya sengaja menyebutnya Kota Sri Sultan agar terasa lebih anti-mainstream), karena Yogyakarta adalah kota yang sekitar 70% penduduknya adalah pelajar, tentunya Sumpah Mahasiswa ini terdengar terasa lebih syahdu dan lebih bersemangat ketimbang bila diserukan di ibukota walaupun Kota Sri Sultan ini bukan kota tempat terjadinya Reformasi 1998 yang telah mengubah sejarah Indonesia untuk selama-lamanya.

Seperti perbedaan antara nabi dan rasul yang tentunya dulu pernah diajarkan oleh guru agama Islam kita dimana seorang rasul disebutkan sudah tentu seorang nabi namun seorang nabi belum tentu seorang rasul. Begitupun juga antara mahasiswa dengan pelajar. Seorang mahasiswa sudah tentu seorang pelajar namun seorang pelajar belum tentu seorang mahasiswa.

Atau dalam skala yang lebih besar. Perbandingan antara mahasiswa dengan guru. Seorang guru belum tentu seorang mahasiswa namun seorang mahasiswa sudah tentu seorang guru. Bukan berarti setiap mahasiswa mengajar di sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah. Dalam hal yang saya maksud ini adalah bagaimana seorang mahasiswa haruslah menjadi contoh yang baik bagi masyarakat Indonesia dari golongan lain entah itu sesama mahasiswa atau pelajar, yang bukan dari keduanya, ataupun yang mengenyam pendidikan secara terbatas.

Mahasiswa juga merupakan seorang nation sculptor, pemahat negeri, orang yang telah “memahat” negeri ini ke dalam bentuk yang lain, bentuk yang baru. Berbagai tindakan yang dilakukan oleh seorang mahasiswa entah itu demonstrasi atau kegiatan-kegiatan sosial bisa mengubah bentuk negeri ini secara langsung ataupun tidak. Orasi mereka bahkan terdengar lebih membuncah jiwa ketimbang seorang jendral sekalipun.

Tentunya ini nggak termasuk mahasiswa yang sudah menjadi kupu-kupu. Karena mahasiswa yang sudah menjadi kupu-kupu, bagi saya, nggak jauh beda sama pelajar sekolah menengah atas atau pertama.

Memang tidak semua mahasiswa bisa memberikan perubahan. Tergantung bagaimana mereka mengisi masa-masa kuliah mereka. Dari satu kampus, kita bisa lihat mereka yang kuliah sambil berorganisasi maupun yang kuliah hanya sekedar mendengarkan penjelasan pak dosen. Belum lagi sudah ribuan mahasiswa yang menyerukan sumpah di atas namun hanya sumpah sekedar sumpah.

Tentu masih segar dalam ingatan kita peristiwa Reformasi 1998. Ketika para mahasiswa berhasil menduduki gedung MPR, ketika seorang mahasiswa Universitas Trisakti, Elang Mulya Lesmana, dan teman-temannya harus berakhir hidupnya di ujung timah panas. Bagaimana seorang Suharto yang berpendidikan militer, yang disebut-sebut sebagai “Bapak Pembangunan”, mengubah Indonesia dari Orde Lama menjadi Orde Baru, memerintah Indonesia selama 32 tahun, tumbang di tangan para mahasiswa. Berakhirlah masa Orde Baru, dimulailah masa Reformasi, BJ Habibie hadir di kursi kepresidenan menggantikan Suharto, menjadi presiden pertama berdarah Bugis.

Apalagi setelah Pak Harto menutup matanya pada sekitar tahun 2007, namanya terkenang di dalam gedung Purna Bhakti Pertiwi, Taman Mini Indonesia Indah, buku pelajaran, ataupun muncul sebagai lukisan di belakang bak truk dengan tulisan “Piye kabare? Isih penak jamanku tho?”.

Apakah berarti mahasiswa harus selalu anarkis dan melaksanakan demonstrasi besar-besaran untuk mengubah negeri ini sekali lagi? Saya tidak mengatakan “ya” untuk hal ini. Seorang mahasiswa tidak harus mengadakan unjuk rasa besar-besaran bahkan sampai merusak fasilitas-fasilitas negara seperti yang terjadi pada tahun 2013, saat ada keputusan dari pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Dengan adanya pers bersuara mahasiswa ataupun tulisan di forum-forum network yang ditulis oleh mahasiswa, perubahan tak harus terjadi dengan anarkisme. Karena pada masa ini, saatnyalah pemikiran, pena, dan keyboard yang beraksi.

Bila seorang guru di sekolah-sekolah dasar maupun menengah, menyinari murid-muridnya serta membimbing mereka agar menjadi rakyat sesungguhnya, maka seorang mahasiswa menyinari Indonesia, merangkul serta mencium kening ibu pertiwi mengajaknya pada perubahan.

Dari pelosok Kota Sri Sultan, tangan kanan saya kepalkan tinggi ke udara.

Salam Mahasiswa!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline