Lihat ke Halaman Asli

Berkah Ngabuburit di Rel Kereta Api

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_123229" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi foto by flirck.com"][/caption] TAK terasa puasa Ramadhan 1432 H tahun ini telah memasuki hari ke 6, tak terasa pula diri ini telah mulai terbiasa dengan tempaan bulan Ramadhan ini setelah sebelas bulan lamanya kita terbiasa dengan makan-makanan yang enak, lagi mengenyangkan dari pagi hingga kembali kepagi lagi. Tiga kali sehari itulah kebiasaan makan kita tiap hari, bahkan ada yang melebihnya dengan selingan cemilan-cemilan diantara waktu-waktu tersebut.

Mungkin sebahagian dari kita beruntung, karena makanan yang kita makan disamping terpenuhi baik dari segi kandungan gizi maupun dari jumlah dan jenis makanan. Tapi pernahkan kita sadar, dibalik kesenagan kita yang makan begitu lahap, disana di Rel Kereta Api ada saudara-saudara kita, kaum papa harus mengais-ngais rezeki dan berharap belas kasih dari orang-orang untuk mendapatkan sesuap nasi. Apalagi memperhitungkan nilai gizi dari makanan yang mereka makan, dengan makan sekali sehari pun sudah sangat bahagia mereka rasakan, karena hari-harinya kebanyakan dilewatkan tanpa memakan apa-apa.

Aku, dan tiga orang teman lainnya, Sigit, Hajar, Bundo sepakat untuk ngabuburit sekaligus berbuka puasa bersama kaum papa tersebut. Kaum papa oleh pemimpin kita hanyalah berempati kalau ada kepentingan kepada mereka, hanya akan dilirik ketika pemilihan umum diselenggarakan. Setelahnya dibiarkan begitu saja, tanpa pernah bertanya apa yang kalian inginkan dari ku. Dengan menjerit sekuat-kuatnya bahkan sampai mengalirkan darah dari kedua bola matanya tak akan mengubah pendirian para pemimpin kita. Sehingga mereka tidak lantas menagih janji para pemimpin itu, namun dengan tenaga yang ada berusaha mencari sendiri nafkah untuk melanjutkan kehidupan mereka.

Empati, mau menitikkan air mata kami ketika melihat ada sekelompok anak-anak tanpa pakaian, kalau pun ada sudah banyak yang robek disana sini. Ibu-ibu yang menyusui anaknya, telihat susunya telah kering namun anaknya tetap mengisapnya kuat-kuat, para orang-orang tua hanya terlentang bersandar di trotoar Stasium Kereta Apidengan beralaskan sebilah karpet yang telah rusak, hanya berharap ada sang dermawan yang ingin mengasihinya.

Saya coba bertanya, "waktu sahur tadi subuh bapak makan apa ?, dijawabya "yoo gimana ya dee, tidak makan pun sudah syukur,  apalagi makan dee. Ada yang kasih ya, kita makan kalau tidak ada, mau diapalagi". Ini sunggu ironis, menurut saya bukkanya mereka tidak sanggup untuk mencari nafkah mereka sendiri, tapi karena perangkat keterampilan untuk mencari nafkah itu, tidak dimiliknya. Dari wawancara yang saya dan kawan-kawan lakukkan kebanyakan dari mereka tidak tamat sekolah dasar (SD). Padahal pendidikan dan keterampilan yang cukup lah yang menjadikkan seseorang bisa berguna terutama untuk dirinya sendiri, setidaknya bisa mencari makan karena usahanya sendiri.

Alhamdulillah pada waktu itu, kami kesana telah mempersiapkan makanan untuk berbuka yang kami siapkan cukup untuk 20 orang, mungkin pembaca menilainya cukup kecil, tapi sebagai mahasiswa kami anggap itulah yang bisa kami berikkan kepada mereka. Makanan berbukannya waktu itu, Es pisang ijo, Es Palu butung, Es Buah, dan beberapa kue-kue seperti dadar, pisgor (pisang goreng), onde-onde, kue lapis, dan bakwan. Kue-kue ini telah kami masukkan kedalam kotak kue, supaya tidak ada rebutan sewaktu membaginya.

Ufuk telah lihat remang-remang, matahari pu mulai menyembunyikan dirinya, cakrawala penuh dengan warna merah. Melihat keadaan itu saya memanggil teman-teman untuk menggiring anak-anak jalanan, beserta ibu-ibu dan bapak-bapaknya untuk berkumpul di suatu tempat, guna membagikan makan berbuka yang telah kami sediakan tadi.

Adzan Magrib pun telah berbunyi, saya memandu mereka untuk berdo'a bersama sebelum menyantap hidangan yang disediakan "Allahumma laka sumtu wa bika amantu wa `alayka tawakkaltu wa `ala rizqika aftartu birahmatika yaa arrahmanuraahimiin" serentak kami ucapkan, dan di amiini secara bersama-sama pula. Makanan berbuka pun kami lahap bersama.

Dalam hati saya berbisik, Alhamdulillah, tiada kenikmatan yang begitu terasa, selain yang saya rasakan ini yakni berbagi bersama kaum papa, dengan melihat mereka makan dengan lahap dan gembira. Gembira pula lah hati yang begitu rapuh ini. Ingin rasanya meneteskan air mata bahagia, namun malu karena banyak orang.

Setelahnya itu, beratus-ratus rasa terimah kasih mereka ucapkan kepada kami, banyak do'a dipanjatkan untuk kami, sebagai balasan apa yang telah kami berikkan kepada mereka. kami menjawab "kalau bukan hidayah dari Allah kegiatan ini tidak akan ada", "semoga kita dipertemukkan dilain waktu dengan makanan yang lebih enak", semua tersenyum dan serentak mengamini. Amiiin.

[Telkomsel Ramadhanku]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline