Hingga kini kasus pembunuhan Brigadir Joshua (J) masih jadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Ferdi Sambo (FS) sebagai dalang pembunuhan, telah usai melakukan rekonstruksi Selasa, (30/8) silam. Namun lagi-lagi tahapan kasus ini menuai pro dan kontra, dimana pihak pelapor Tim Brigadir J dilarang untuk memantau langsung tahapan rekonstruksinya. Hal tersebut dianggap mencederai Asas Persamaan Hukum (Equality Before The Law).
Equality Before The Law
Memaknai asas hukum diatas menurut Prof. Ramly dalam bukunya Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law) di Indonesia, adalah sebagai mata rantai diantara hak, kewajiban dan berfungsi menurut kedudukannya masing-masing.
Persamaan di hadapan hukum sendiri mewakili hak-hak setiap warga negara atas segala bentuk perlakuan adil dari aparat penegak hukum maupun pemerintah. Oleh karenanya setiap instansi pemerintah, terutama aparat penegak hukum, terikat secara konstitusional dengan nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam praktik.
Namun perlu dijadikan catatan penting, dalam penegakan asas persamaan hukum tersebut bukanlah tanpa hambatan. Hambatan diantaranya, segi yuridis dan politis, maupun hambatan sosiologis dan psikologis. Seraya memberikan contoh, dapat dilihat dari kasus diatas, dalam tahapan rekonstruksi pembunuhan berencana Brigadir J nyatanya dibatasi.
Melalui siaran pers langsung, Kamarudin selaku pengacara pihak pelapor mengkonfirmasi bahwa timnya bahkan diusir. Dirinya tidak diperbolehkan mengikuti proses rekonstruksi FS beserta tersangka lainnya secara langsung. “Kami bahkan sudah datang dari pagi, ini merupakan pelanggaran sangat berat tidak ada makna Equality Before The Law”, jelasnya pada awak media (30/8).
Keabsahan Asas Persamaan Hukum
Padahal keabsahan asas persamaan hukum ini telah diatur dalam Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 Jo. Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Yakni pada kedua pasal tersebut memuat penjelasan bahwasannya segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahannya. Maka jelas di dalamnya mengatur terkait kesetaraan hukum. Semua orang memiliki hak yang sama di mata hukum. Termasuk posisi pengacara Kamarudin di atas.
Namun menanggapi pernyataan dari pelapor, dilansir dari media detiknews pihak Bareskrim Polri Brigjen Andi menjelaskan bahwasanya dalam rekonstruksi atau reka ulang ini untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, hanya dihadiri oleh para tersangka dan saksi beserta kuasa hukumnya. Pun demikian proses ini juga diawasi oleh Kompolnas, Komnas HAM dan LPSK. “Tidak ada ketentuan proses reka ulang atau rekonstruksi wajib menghadirkan korban yang sudah meninggal atau kuasa hukumnya”, terang Andi (30/8).
Pemaknaan kata “tidak ada ketentuan wajib menghadirkan” dapat dimaknai ke dalam dua hal. Bisa diartikan tidak dapat menghadiri karena tidak diwajibkan atau dapat menghadiri karena berkepentingan meskipun tidak diwajibkan. Lantas bagaimana aturan tahapan rekonstruksi sebenarnya?
Aturan Tahapan Rekonstruksi