- Memanfaatkan celah hukum ekspor-impor imigran pendatang xinyimin komunis Tiongkok (Cina) memotong mata pencaharian penduduk lokal
- Perusahaan Tiongkok menggunakan koneksi dan sogok sana-sini untuk memotong mata pencaharian pedagang lokal negara berkembang
- Pekerja xinyimin tak terampil (unskilled workers) dari Tiongkok daratan juga datang ke Indonesia bersama dengan pekerja terampil (skilled worker) yang menyelundupkan mereka
- Para xinyimin Tiongkok ini mulai menggeser penduduk lokal, termasuk keturunan Tionghoa Indonesia, dari sektor ekonomi
- Lebih dari 24.000 pendatang xinyimin terdata sebagai pekerja terampil, tapi diperkirakan jumlah total xinyimin dari Tiongkok paling tidak 2x lipat jauh lebih besar dari yang terdata.
Demonstrasi Anti-Cukong Tiongkok
Demonstrasi besar-besaran terjadi di Nairobi, ibukota Kenya, pada beberapa hari lalu, menuntut penutupan China Square, toko ritel barang-barang Tiongkok (Cina) yang menjual dengan harga hampir setengah dari harga toko lokal. Ribuan pedagang lokal Kenya menuntut deportasi imigran pendatang Tiongkok daratan, xinyimin, yang dengan curangnya mengeksploitasi celah hukum ekspor-impor untuk memotong mata pencaharian penduduk lokal.
"Imigran Tiongkok tidak bisa jadi importir, pengecer, grosiran, dan kaki-lima." Baca salah satu plakat protes, merujuk pada bagaimana imigran Tiongkok memanfaatkan celah hukum untuk menjual dengan harga miring yang memotong mata pencaharian penduduk lokal. "Orang Tiongkok harus pergi!" lapor Africa.com.
Pada awalnya para pedagang lokal Kenya membeli grosir dari pabrik Tiongkok daratan. Umumnya, para pedagang ini membayar tarif ekspor-impor, biaya pengiriman, dan lain lain, sehingga untuk membukukan keuntungan maka pedagang lokal perlu menaikan harga.
Melihat pasar yang terbuka ini, para cukong-cukong dari Tiongkok daratan, menggunakan koneksi mereka, melalui menyogok sana-sini , berhasil membawa barang-barang langsung dari pabrik mereka di Tiongkok ke tangan konsumen Kenya, dengan tanpa biaya tarif ekspor-impor pada umumnya.
Seperti benalu, cukong-cukong dari Tiongkok ini bersimbiosis parasitisme di dalam ekonomi lokal. Akibatnya, mata pencaharian pedagang lokal pun terpotong. Dari produsen, distributor, kecuali konsumen, semuanya xinyimin Tiongkok. Akibatnya roda ekonomi lokal pun tersendat, banyak penduduk Kenya kehilangan mata pencahariannya.
Hal ini sangat mungkin terjadi juga di Indonesia, mengingat kasus serupa di Tanah Air. Beberapa waktu lalu heboh produk KW Tiongkok membanjiri pasar domestik dalam negeri melalui layanan ecommerce toko online. Pada akhirnya pemerintah pun terpaksa bertindak, dengan menerapkan skema tarif impor baru.
Xinyimin, imigran pendatang dari Tiongkok daratan
Xinyimin adalah sebutan imigran pendatang baru dari Tiongkok daratan. Berbeda dengan keturunan Tionghoa lokal yang sudah di Indonesia selama beberapa generasi dan berasimilasi dengan penduduk lokal, xinyimin adalah pendatang yang benar-benar baru, sering kali bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia.
Indonesia mau tidak mau terpaksa menerima para xinyimin ini karena usaha Indonesia untuk mengembangkan industri nilai tambah (value-added industry) serta pembangunan infrastruktur melalui skema BRI (Belt and Road Initiative). Faktanya memang sebagian dari para xinyimin tersebut adalah pekerja terampil (skilled workers) yang dibutuhkan Indonesia.
Tapi masalahnya, banyak dari para xinyimin tersebut bersama dengan perusahaan dari Tiongkok, membawa secara ilegal xinyimin tak terampil (unskilled workers). Ada lebih dari 24.000 xinyimin terampil terdata di Indonesia (data tahun 2020). Tapi diperkirakan juga jumlah total xinyimin ilegal tak-terampil mencapai 2x lipat lebih banyak.
Xinyimin ilegal dari Tiongkok daratan pun tersebar di kota-kota besar Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta. Seringkali mereka menggunakan visa turis tapi dengan sengaja tinggal lebih lama dari yang tertera di dokumen resmi.