Lihat ke Halaman Asli

Ulul Amri

Mencoba belajar selalu introspeksi diri.

3 Juta atau 70 Juta Nyawa?

Diperbarui: 26 April 2020   18:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di masa pandemi ini, sepertinya serasa seluruh halaman berita hanya dipenuhi dengan berita coronavirus. Rata-rata suara yang berkicau ya itu-itu saja, #stayathome, #lockdown, #karantina, dan lain lain. Tapi sepertinya ada beberapa hal yang orang-orang tidak pernah bicarakan. Penulis jujur sangat merasakan frustrasi ketika secara tidak sengaja menemukan essay dan artikel opini di news feed di browser penulis, tapi ya suara yang berkicau itu-itu saja.

Penulis akan mencoba to-the-point saja. Ada beberapa hal krusial yang seharusnya dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan mengenai penanganan virus ini, tapi sepertinya tidak ada suara yang mau mengangkatnya. Mungkin karena media masa internet sudah dipenuhi dengan buzzer atau apalah itu namanya, tentara bayaran siber, dibayar tiap posting 500 Rupiah.

Singkatnya ada dua poin yang penulis ingin angkat:

  • Seberapa berbahaya virus ini sebenarnya?
  • Lockdown vs PSBB vs Go Yolo (dibebaskan)

Terutama poin pertama, sepertinya seluruh suara yang berkembang adalah berkata implisit, "Virus ini sangat berbahaya. Keinfeksi bisa mati. Menjauh kamu dari diriku!". Sedangkan poin kedua sangat berkaitan erat dengan poin pertama.

  • Seberapa berbahaya virus ini sebenarnya?

Paling sederhana, untuk mengetahui seberapa berbahanya virus, kita perlu melihat tingkat kematian. Nah, di sini biasanya orang-orang sepertinya sering bingung. Ada case fatality rate (CFR), diterjemahkan menjadi, tingkat kematian kasus; lalu angka yang sebenarnya paling penting dan perlu diketahui: infected fatality rate (IFR), diterjemahkan, tingkat kematian terinfeksi.

Case fatality rate (CFR), ini berarti tingkat kematian dari data yang terekam. Jadi jika orang yang terinfeksi terus meninggal tanpa didiagnosa positif, tidak masuk dalam angka ini.

Infected fatality rate (IFR), adalah angka kematian "sebenarnya". Dalam artian, jika semua orang terinfeksi, ada berapa orang yang meninggal. Angka ini setara dengan CFR, jika dan hanya jika, semua orang terdiagnosa.

Secara praktis, hanya angka CFR yang bisa kita ketahui. Angka IFR kita dapatkan dari (mungkin) pemodelan atau komparasi dengan negara lain yang melakukan uji secara khusus, seperti randomized testing di Islandia (0,3%)[3], serta antibody test pada populasi di Jerman(0,37%)[4], Belanda(<1%)[5], dan Kalifornia(<0,27%)[6], atau bisa juga data CFR di negara yang melakukan testing berskala besar sehingga seluruh kasus terinfeksi bisa diasumsikan terlacak seperti di Korea(~1,2%)[1] dan Jerman(~2,2%)[2].

Di data tersebut uji antibodi memberikan indikasi bahwa tingkat kematian jauh di bawah 1%, sedangkan tingkat kematian kasus terekam (CFR) lebih dari 1%. Tapi sepertinya, para ahli percaya bahwa tingkat kematian terinfeksi, IFR, berada di bawah 1%[7]. Sehingga tingkat kematian yang terekam di atas 1% diakibatkan oleh faktor uji yang tidak memadahi dan banyak kasus tak terekam, terutama pada golongan yang tidak menunjukkan gejala sama sekali, yang menurut data Islandia adalah setengah dari populasi terinfeksi[8].

Untuk informasi mendalam mengenai uji antibody, penulis sarankan untuk cari-cari sendiri di google. Karena uji antibody ini sepertinya berpotensi memberikan informasi yang jauh lebih lengkap dari uji yang selama ini kita lakukan.

Kesimpulan: Meninjau data uji dari beberapa negara dan pendapat pakar, tingkat kematian terinfeksi (IFR) memiliki indikasi kuat berada di bawah satu persen (<1%). Ini berarti, jika seluruh populasi Indonesia dibiarkan terjangkit, akan ada paling banyak 3 juta populasi meninggal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline