Jumat magrib, tanggal 28 September 2018, adalah saat- saat memilukan bagi warga kota Palu, Donggala, Sigi dan sekitarnya. Guncangan tanah pada skala 7,3 disusul dengan terjangan tsuname. Dalam hitungan detik ratusan orang terseret air laut. Atau tertimpa reruntuhan rumah dan gedung. Ratusan lainnya tertelan ke dalam bumi akibat fenomena likuifaksi atau "tanahberjalan".
Fenomena ini terjadi pada wilayah Petobo dan Balaroa, yang struktur lapisan tanahnya mengandung alluvium berpasir halus. Getaran gempa yang cukup kuat, mengakibatkan endapan air di dalam tanah muncul ke permukaan tanah. Karena daya dukung tanah yang lemah, semburan air itu bercampur dan membentuk cairan lumpur. Benda- benda yang ada diatas permukaan tanah pun akan terseret atau tersedot ke dalam lumpur.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui twitter resminya, @BNPB_Indonesia, Rabu 3 Oktober 2018, pukul 13.46 merilis data, bahwa sampai dengan laporan itu dibuat, jumlah korban yang meninggal telah mencapai 1.407 orang; 519 jenazah telah dimakamkan. Jumlah korban yang mengalami luka berat sebanyak 2.549 orang, yang kini masih dirawat di sejumlah rumah sakit.
Yang dinyatakan hilang sebanyak 113 orang. Korban berasal dari kota Palu, Donggala, Sigi, Moutoung, dan Pasangkayu. Jumlah rumah yang rusak, rata dengan tanah, dan yang tertelan ke dalam bumi sebanyak 65.733 unit. Sementara jumlah penduduk yang telah diungsikan sebanyak 70.821 orang, tersebar di 141 titik. Demikian dikutip dari tribunwow.com, tanggal3 Oktober 2018.
Titik- titik pengungsian diluar Provinsi Sulawesi Tengah, diantaranya terdapat di kota Pasangkayu, Pare- pare, Makassar, dan Balikpapan. Tidak sedikit dari mereka yang meninggal, dimakamkan secara massal karena jenazahnya telah rusak dan tak bisa lagi teridentifikasi. Atau telah direlakan oleh keluarganya untuk dikebumikan secara massal.
Ratusan anak, bahkan mungkin beberapa ribu anak, menjadi yatim karena kehilangan orang tuanya. Demikian juga ratusan ayah dan ibu, kehilangan anak- anak atau sanak keluarga yang mereka cintai. Tak tahu dimana mereka saat ini, terpisah kemana mereka, atau mungkin sedang mengalami luka terbaring di lorong- lorong atau tenda- tenda rumah sakit. Atau masih tertimbun di bawah reruntuhan rumah dan gedung. Atau masih tertimbun di dalam lumpur. Atau sudah dipanggil oleh Tuhan ke haribaan- Nya.
Bantuan sebagai rasa duka dan empati terhadap saudara- saudara kita yang mengalami musibah ini, terus berdatangan. Dari seluruh penjuru tanah air. Baik dalam bentuk logistik bahan makanan siap saji, susu, obat- obatan, pakaian, tenda, dan uang cash. Yang lainnya, dalam bentuk helikopter, ambulans, tenaga medis dan relawan. Tak terkecuali panjatan doa kepada Ilahi Rabbi. Doa yang terucap terbata- bata, duka bercampur haru, dari jutaan mulut rakyat Indonesia.
Beberapa negara sahabat, seperti Jepang, India. Qatar, Swiss dan negara- negara ASEAN, juga mulai mengirimkan bantuan. Negara- negara tersebut mengirimkan bantuan pesawat udara pengangkut barang, water treatment penjernihan air, fogging untuk netralisasi lingkungkan terhadap penyebaran virus penyakit, genset, dan tenda. Disamping itu rumah sakit lapangan beserta tim medisnya.
Yang cukup mengharukan, masyarakat Sumatera Barat mengirimkan penganan khas daerah ini, rendang sebanyak 1,1 ton, yang bisa bertahan sampai satu bulan. Disamping tim medis, pakaian bersih, juga satu tim relawan dari Himpunan Bersatu Teguh (HBT), sebuah organisasi sosial saudara- saudara kita dari keturunan Tionghoa, dan satu tim dari Semen Padang. Demikian dikutip dari regional.kompas.com., tanggal2 Oktober2018.
Demikianlah ketetapan Tuhan dengan segala kebijaksanaan dan kesempurnaan ilmu- Nya. Tak lain sebagai sebuah teguran kepada kita -- karena kita mungkin telah mulai banyak "mengabaikan" perintah dan larangan- larangan- Nya.
Iapun tak lain, adalah untuk menguji keimanan dan kesabaran kita atas ketetapan itu. Sekaligus menguji kepekaan kita terhadap musibah, kesulitan dan kesusahan orang- orang lain disekitar kita.