Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Cinta Tak Bertuan

Diperbarui: 5 Maret 2016   14:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi - menunggu (Shutterstock)"][/caption]Tiba-tiba aku teringat tawa itu, yang dulu selalu membuatku serbasalah.Teringat tatapanmu yang bagai mata elang seolah-olah memaksa aku untuk mengakui kekaguman ini. Kau menyiksa aku dengan sisa-sisa rindu ini. Masih... masih saja walau sudah setahun lewat tak melihat wujudmu lagi.

Apa kabar? Mungkin kau sehat, atau mungkin tidak karena kebiasaan merokokmu sudah kau mulai lagi semenjak kepergianku merantau lebih jauh lagi, padahal kau sendiri sudah periksa ke dokter bahwa paru-parumu sebagian sudah rusak, tapi rokokmu kau mulai lagi untuk sebuah alasan mungkin aku, tapi mungkin juga bukan aku. Ah, aku terlalu percaya diri sekali.

Masih ingatkah kau tentang sebuah cerita yang pernah terbangun begitu rancu? Tentang kedatanganku di kantor itu yang mungkin tidak terlalu istimewa, saat-saat aku belum terlalu lihai menggambar alis, saat-saat aku masih harus belajar lebih keras lagi untuk pekerjaan-pekerjaan kantoran yang menumpuk.

Kau selalu lewat dengan label bosmu yang menyeramkan, badan tinggi besar, pakai kalung rantai, brewokan. Membuat aku takut bila melihatmu lewat di depanku.

Ya. Kau menyeramkan!

Tapi oleh waktu semua berubah. Entah untuk alasan apa kau mulai lebih perhatian padaku daripada yang lain, mata elangmu membuat aku selalu salah tingkah. Tapi lambat laun pun aku mulai berani bercanda tawa denganmu. Kadang kala kau terlalu pintar untuk membuat seorang wanita begitu spesial, walau kadang kau tak lihat kondisi sedang berada di depan teman-teman kantor.

Aku masih ingat, di mana kau tertawa saat kau tahu aku bisa menghabiskan satu kotak pisang keju cokelat sendirian, bahkan dengan senang hati kau membelikannya untuk kuhabiskan. Aku masih ingat juga saat kau kenalkan aku pada orang tuamu, kau karang alasan bahwa kau harus mampir ke rumah dulu untuk mandi sebelum pergi menonton bioskop berdua. Sekali lagi, entah untuk alasan apa kau melakukannya? Hallo... itu terlalu istimewa untuk sekedar pertemanan. Kau juga selalu dengan bangga mengenalkan teman-temanmu kepadaku.

Tapi sudahlah... Antara kita berdua tidak pernah ada yang mengakuinya. Haruskah aku menamainya cinta? Bibir ini tak berucap, bahkan kau masih diam tanpa pengakuan walau setiap hari memperlakukan aku dengan istimewa. Aku sungguh harus bagaimana? Pertanyaan selalu menghujaniku, dan membuatku mulai merasa terlalu membawa ke perasaan.

Hingga akhirnya, dunia berhasil melerai cinta tak bertuan ini. Aku harus dipindahkan ke sebuah kota terpencil. Aku tau kau pasti berat hati melakukan itu. Tapi, sayang... Selain kau, aku juga harus memperjuangkan masa depanku, aku tak yakin untuk di kota itu ada kehidupan yang lebih baik.

"Saya tidak mau dimutasi, Pak. Saya resign." Kuserahkan surat pengunduran diri itu.

"Maksud kamu apa?" Kau marah. Semarah-marahnya, sejadi-jadinya. Tidak pernah aku lihat kau semarah itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline