Lihat ke Halaman Asli

[Ramen] Darah Kakak di Hari Anak

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13261677411987900810

[caption id="attachment_162698" align="aligncenter" width="592" caption="Image - mardaarauf.blogspot.com"][/caption]

Uli Elysabet Pardede No. 30

Aku Evan anak orang miskin. Sejak dari dalam kandungan pun aku sudah miskin. Mungkin saat aku masih jabang bayi, aku kelaparan di dalam rahim karena si pemilik rahim tak mempunyai uang untuk makan sehari. Sewaktu umurku 6 tahun, teman-temanku sudah siap-siap masuk sekolah. Tetapi aku? Boro-boro sekolah, makan saja sudah syukur. Ternyata Tuhan tidak cukup memberi ujian pada aku yang masih kecil. Beberapa hari kemudian Ayahku dipenjara karena mencuri pisang setandan milik tetangga. Setelah Ayah keluar dari penjara, Ayah bukannya datang dan melepas rindu pada kami. Malah ayah kabur untuk selamanya tak kelihatan lagi.

Aku tahu Ibuku stress saat itu karena masalah kehidupan yang sangat miris ini. Ibuku sangat sayang padaku, namun hari itu aku tak tahu kenapa Ibu bisa tega melakukan itu. Ibu menjual aku pada seseorang yang tak aku kenal, katanya aku akan diberi pekerjaan. Aku berlari ke kamar dan meninju dinding kamar yang terbuat dari kayu yang sudah dimakan rayap. Aku menangis sejadi-jadinya dan marah pada kenyataan ini.

Kenapa?

Kenapa?

Kenapa!!!

Anak yang seumuran dengan aku sedang asik-asiknya bersekolah. Sementara aku? Aku dijual??? Aku tak pernah meminta lebih pada Ibuku, bahkan untuk tidak sekolah aku sudah sangat pasrah. Tetapi apa??? Malah aku dijual kepada orang lain untuk dijadikan budak??? Aaaarrrrggghhh!!! Tetapi Ibu ternyata telah lama berdiri di ambang pintu menatap aku yang menangis sejadi-jadinya. Ibu turut menangis, tetapi aku tak peduli. Pedih rasanya diperlakukan begini oleh Ibuku.

Pada akhirnya tangan seorang wanita tua menarik tanganku dan menaikan aku ke atas mobil pick up yang di atasnya sudah ada beberapa teman yang dijual orangtuanya juga. Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya selama perjalanan.

"Sudahlah... Berhentilah menangis..." Ando menenangkan aku, dia lebih tua dariku. Aku tak mengerti kenapa ada seorang sebaik dia. Bahkan saat hujan menerpa kami semua di atas mobil pick up, dia justru melindungi kepalaku.

Akhirnya kami sampai di sebuah rumah yang besar tetapi jelek sekali. Kami hanya mampu beranggapan bahwa itu adalah rumah hantu. Kami tinggal di situ dan disiksa di situ. Jika hari sudah pagi, kami akan dipaksa untuk bangun dan pergi ke sebuah proyek pembangunan mall. Di situ kami bekerja mengangkati bebatuan. Terkadang kami dibawa ke tempat lain untuk mengangkat batu dari kali langsung. Ah, tanganku sakit sekali. Dua tahun aku hidup begitu selalu ditemani airmata yang tiada hentinya.Badan kami pun kurus kering dan jarang sekali perut kami tersentuh makanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline