Lihat ke Halaman Asli

Menemanimu Menanti Mati

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ku rapihkan rambutmu anakku sayang. Karena aku tahu kau takkan mampu mengangkat tanganmu lalu mengelus-elusnya. Ku ciumi kau sampai kau merasa sudah tidak suka. Tidak terasa airmata membasahi pipiku. Kau diam saja memandangiku, dan aku tahu kau tak bisa jelas memandang aku karena pengelihatanmu cukup kabur. Bibirmu mengatakan sesuatu tetapi aku tak mengerti kau bicara apa.

Kenapa penyakit itu terlalu cepat mengrogotimu? Baru beberapa bulan yang lalu kau tak bisa lagi berjalan. Dilanjut lagi kau sudah tidak bisa melihat. Dan yang terakhir kau tak bisa mendengar. Yang aku lihat dirimu sekarang tak mampu apa-apa. Kau bagai mayat hidup di atas kasur lusuh ini.

“Kak…?”

Kau diam saja tetapi memandangi aku. Aku kembali lagi menangis, aku lihat jemarimu seperti ingin menggapai aku , namun apa? Kau tak mampu. Sampai harus aku yang mengangkat tanganmu mendekat pada pipiku. Puas nak? Rasakanlah pipi Ibumu ini yang mulai menua. Kak, Ibu rindu kamu! Kak, beberapa minggu yang lalu kau masih mampu berkata-kata padaku mengenai cita-citamu.

“Bu….. Pooo….pokoknnyyaaa…. ka…kakaaak… mauu….jadiiiii…… do…doo…kter…..” Kata-katamu terbata.

Sekarang apa? Kau tak mampu apa-apa. Penyakitmu mematikan pergerakanmu, kau kehilangan kendali atas fungsi tubuhmu. Penyakitmu pun mematikan pengharapanku. Pengharapanku yang dimulai sejak aku tahu bahwa kau akan hadir ke dunia ini. Semua karena Ataksia! Ataksia penyakitmu!

Kak, lihat Bapakmu di sana. Dia berlelah-lelah untuk kita. Tabungan yang dulu ingin dia buatkan rumah sekarang lenyap untukmu, Kak. Dia tak mengeluh dan memang sama sekali tidak. Dia selalu menciumi aku dan kau di malamnya. Tanpa ada kesal sedikit pun. Semua dia lakukan untuk kita, kak. Sekarang pun dia sudah bekerja jadi kuli bangunan. Kak… Kakak tahu? Bangunannya menjulang tinggi sampai ke angkasa.

Uneg-uneg di dalam hati terhenti seketika begitu aku merasakan basah di tempat tidurmu. Ku lihat kau diam dan tetap tak berkutik.

“Kakak pipis?”

Ku rapikan dirimu yang terlihat seperti hewan saja. Tak mampu berpikir? Bukan! Kau tak mampu melakukan apa-apa. Aku masih ingat perkataanmu sewaktu penyakitmu masih memperbolehkanmu bicara.

“Bu… ka…kaaaloooo…. Nannnntiiii makiii…nnnnn….. para…..aahhhh….. berarti akuuu…… gaaa….bisaa…. apa-apaaa…….. Buuuu…… kakakkkk….. taaaakkkaaan…… bisaaaa….. melakukaaaannn…..apa yang……kakakkkkk…… maaaauuuuu…….”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline