Lihat ke Halaman Asli

ulil maknun

peneliti manuskrip literatur dan tradisi lisan BRIN

Tetangga, Ghibah, dan Tujuhbelasan

Diperbarui: 28 Agustus 2022   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bicara soal 'tetangga' bagi saya ada dua hal yang paradoks. Pertama, dia atau mereka adalah orang terdekat yang ada di lingkungan hidup kita. Kata para ustaz, mereka adalah saudara kita yang bukan sedarah. Bagi perantau utamanya, tetangga tentu lebih banyak berperan langsung dalam hidup keseharian kita.

Kedua, tetangga itu identik dengan ghibah. Sedekat apapun pergaulan kita dengan tetangga, tetaplah kita orang lain bagi mereka. Sangat layak dan masuk akal muncul rasa iri, dengki, kesal, dan hal negatif lainnya. 

Meski demikian, tetangga dapat berposisi sebagai orang yang paling mudah untuk dijadikan narasumber dan partner berghibah, terlebih dipancing untuk membicarakan tetangga lain yang merupakan 'lawan'nya.

Menyadari adanya dua paradoks ini, keputusan akan kembali ke kita sendiri. Apakah kita mau menjadikan tetangga sebagai saudara, lawan, atau sekedar partner berghibah.

Untuk bersikap baik pada tetangga, sudah ada rumus dasar yang mudah kita pahami yaitu 'apa yang baik untuk kita, itulah yang kita lakukan ke tetangga'. Kalau dalam pitutur Jawa, redaksinya sederhana meski saya kurang suka karena lebih banyak diksi 'jangan'. 

Bisa disebutkan semisal, "ojo dumeh", "ojo nggumunan", dan lain sebagainya. Ada satu lagi yang menurut saya pas dengan konteks tetangga ini, "yen dijiwit lara, ojo njiwit" (jika dicubit itu terasa sakit, ya jangan nyubit).

Kita sudah banyak mendapat ajaran baik buruk, sopan santun, dan akhlak baik dari pelajaran agama, sekolah, atau adat di masyarakat. Entah masalahnya dimana, ajaran yang sudah kita tahu baik itu sering tidak kita pilih, atau kita kalah dan lemah untuk melakukannya. Barangkali diantara pemicunya adalah pemakluman kita sendiri atau masyarakat dan lingkungan kita.

Sebagai contoh, sering karena ingin menuruti keinginan dan kebahagiaan anak yang adalah hak kita, tak sengaja kita abai pada perasaan tetangga. 

Saat keluarga kita punya acara, kita terpaksa merepotkan tetangga dan orang lain agar acara kita lancar sukses. Awalnya mungkin kita melakukan dengan tidak enak, tetapi lama kelamaan karena dimaklumi kita menjadi kurang perasa.

Bulan Agustus tahun ini, setelah pandemi, niat melakukan perayaan kembali bergelora, gegap gempita. Dari berbagai lomba, panggung hiburan, hingga karnafal dijumpai dimana-mana. 

Seperti sabtu minggu di akhir bulan ini, jalan sehat atau karnafal menjadi pemakluman yang jamak dilakukan. Dari satu sisi saja, pelaksanaan jalan sehat dan karnafal meminta pemakluman pemakai jalan lain untuk rela mengalah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline