Lihat ke Halaman Asli

Ulil Lala

Deus Providebit - dreaming, working, praying

Membawa Hujan ke Tanah Rantau

Diperbarui: 17 Januari 2021   14:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nadah air hujan untuk mencari air bersih.|Dokpri


Beberapa hari ini aku berharap hujan turun sedikit lebih deras bukan sekedar gerimis atau rintik-rintik. Ya itulah harapanku tiap kali menatap mendung dan gerimis mulai turun, berharap benar-benar hujan akan turun dikala musim mulai panas dan kering. 

Hampir sepuluh tahun aku merantau ke kota pempek ini dan tinggal di perumahan yang tadinya area hutan kecil yang rimbun dengan semak dan merupakan rawa-rawa. Baru tahun 2016 semua dibabat habis menjadi area perumahan baru tipe RSSS. Pemukiman yang didirikan diatas tanah rawa, memiliki tanah yang lembut, subur, tapi akan sangat membutuhkan biaya untuk pengurukan dan aku membiarkan rumah ini apa adanya sebagai tempat berlindung dari panas dan hujan, biaya renovasi akan lebih mahal dari harga rumah itu sendiri dan saat ini belum ada alokasi untuk itu. 

Pengembang perumahan tidak bisa menyediakan fasilitas air bersih dari PDAM, jadi tiap rumah hanya dibuatkan sebuah sumur batu dengan kedalaman kurang dari 10 meter yang terkadang dalam musim kemarau timba yang aku gunakan bisa mencapai dasarnya. Karena lahan adalah bekas rawa, maka airnya juga bukan ari tanah yang bersih dan bening. Airnya keruh kecoklatan dan bila didiamkan dalam sehari saja akan keluar seperti minyak yang berwarna kekuningan. jadi untuk menggunakan air tersebut harus disaring dulu atau diberi obat penjernih air. 

Apakah dengan menyaring bisa mendapat air bersih? Air bening kekuningan yang bila didiamkan akan tetap keluar minyak, itulah yang didapat. Namun meskipun begitu, karena tidak ada pilihan, maka dipakai juga, lumayan bisa membantu untuk kebutuhan air bersih (tidak untuk dikonsumsi). Menurut warga lokal, air rawa mengandung zat dari kayu gelam yang membuatnya berminyak dan menjadikan semua tempat penampungan air perlahan mulai berubah warna seperti karat. Beberapa waktu saya mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan yang apa adanya dan begitulah keseharian saya bersama air.

Bagi saya yang sebelumnya hidup berkecukupan untuk air bersih di Jawa dari sumur yang dibuat sendiri, merasa seolah hidup di rantau ini benar-benar hal yang sepertinya akan sulit saya lalui. Ketika saya kost saya masih bisa menikmati air bersih, karena di kost berlangganan PDAM, meskipun saya masih harus bayar sendiri, tapi harga yang saya bayar masih cukup terjangkau, bila rata-rata air yang saya butuhkan untuk kebutuhan hidup saya hanya membayar Rp. 20.000 - Rp. 30.000 per bulan. Dan sekali lagi air tersebut hanya untuk kebutuhan sehari-hari bukan untuk dikonsumsi. Penggunaan air sebagai kebutuhan untuk konsumsi, saya harus beli lagi sendiri dengan berlangganan air galon isi ulang.

Hari minggu ini saya berharap hujan turun, bukan sekedar rintik-rintik atau gerimis seperti beberapa hari yang telah lewat, tapi benar-benar hujan yang bisa saya tadah airnya. Puji Tuhan hujan lebat turun hingga parit meluap, saya mengucap syukur meski sedikit was-was takut banjir. Air hujan bisa saya saring, untuk mencuci baju, karena air sumur kadang membuat baju secara perlahan tapi pasti mengubah warna dari putih jadi kekuningan lambat laun.

terkdadang saya berpikir, bahwa Palembang sebagai kota terbesar kedua di Sumatra ini, infrastrukturnya cukup baik, namun ternyata tidak sepenuhnya begitu. Kota ini masih sibuk membangun, tapi entahlah, saya merasa ironis sekali kompleks perumahan tidak mendapat air bersih dari PDAM sementara rumah warga kampung di depan komplek sudah dialiri air bersih dari PDAM. 

Saya bersama kawan sudah pernah mengajukan permohonan berlangganan air bersih PDAM, namun oleh pedugas yang menerima kami, dikatakan bahwa, "Debit air dari sungai Musi tidak cukup dan ditakutkan air bersih tidak bisa mengalir tiap hari." Ya, kalau oleh petugas dari kantor PDAM sudah dijawab begitu lantas warga bisa apa? 

Dalam keadaan seperti ini, hujan adalah andalan utama saya dan tetangga untuk mendapatkan air bersih, yang saya tadah langsung atau yang ditampung sumur. Saya ingat istilah sumur tadah hujan, awalnya saya merasa aneh, sumur kok airnya dari hujan yang dialirkan melalui talang dan dimasukan ke dalam sumur, bukankah sumur harusnya sudah ada airnya dari dalam tanah? Sekarang, saya sendiri mengalami hal itu, mengharap hujan turun, supaya sumur saya penuh oleh air bersih yang bisa saya saring untuk kebutuhan hidup.

Saya bukan satu-satunya warga yang melakukan ini, hampir seluruh warga komplek dan pasti banyak lagi orang-orang yang di pelosok, yang belum bisa mendapatkan air bersih layak konsumsi akan melakukan hal yang sama. Semoga Pemda Kota Palembang bisa segera mencarikan solusi untuk ini, bukan hanya mempercantik area pusat kota saja, tapi sedikit lebih luas ke pedalaman atau pinggiran kota yang sangat perlu "disentuh".

Andai aku bisa membawa hujan ikut bersamaku, musim kemarau tidak akan pernah menjadi suatu masalah saat membutuhkan air bersih, meskipun aku benci dingin dan basah, tapi aku ingin tetap bersahabat dengan sang hujan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline