Lihat ke Halaman Asli

Ulil Hidayah

Mahasiswi UIN Walisongo Semarang

Demisioner Lurah Metafisis: Mendidik dengan Keras Terkadang juga Perlu

Diperbarui: 4 Maret 2022   13:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Demisioner Lurah Metafisis tahun 2018, Muhammad Khafid Shobikhin saat menjadi pembicara di podcast kesetaraan gender, mengatakan bahwa terkadang mendidik istri dengan keras itu juga perlu. Dalam podcast yang diadakan Kelompok 40 KKN MIT DR Ke-13 UIN Walisongo Semarang, ia menjelaskan KDRT bukan terjadi karena cinta.

"Pukulan yang dimaksud Rasul adalah yang tidak menimbulkan bekas luka. Sekarang kalau dinalar, pukulan pasti menimbulkan bekas luka. Sehingga yang dimaksud adalah untuk mendidik, bukan melukai fisik sang istri. Ini jelas berbeda dengan KDRT." ujarnya dalam podcast bertema "Cinta, KDRT, dan Islam".

Di awal podcast, ia menguraikan bentuk KDRT bisa berupa kekerasan fisik, psikis, hingga perihal nafkah. Ia juga menjelaskan, nafkah bukan hanya berbentuk "materi" sebagaimana masyarakat umum mengartikan. Namun, nafkah juga berarti candaan hingga ilmu pengetahuan.

"Nafkah sering diartikan sebagai pemberian berbentuk materi kepada istri. Padahal jika pemikiran tersebut dilebarkan, maka nafkah bukan hanya berbentuk materi. nafkah bisa berupa nafkah ilmu pengetahuan, penguatan mental, bercanda bersama dan tertawa bersama." jelas Khafid pada podcast yang diadakan Senin, (13/2//2022)

Lebih lanjut, ia menuturkan pentingnya menaruh kepercayaan penuh dan mampu mengendalikan emosi negatif pada pasangan agar tidak terjadi KDRT.

"KDRT biasa terjadi karena emosi negatif. Sehingga cara menghindari KDRT ya dengan bersabar, saling memahami. Ketika ada sikap tidak saling memahami, tidak suka dengan sikap pasangan, cara bicaranya atau yang lain. Itu yang dapat membuat terjadinya kekerasan."

Di akhir podcast, ia menjelaskan bahwa hendaknya ketika ingin bercerita masalah rumah tangga, harus mampu memilih siapa yang akan diajak cerita dan memilah apa yang akan diceritakan. Namun, alangkah lebih baik jika ketika ada masalah maka diselesaikan dengan baik, dengan kepala dingin, dengan hati dan pikiran yang tenang. Jika emosi tinggi, bukan tidak mungkin orang yang diceritakan akan ikut emosi juga.

"Menurut saya boleh bercerita, namun tetap pilih-pilih. Takutnya yang terjadi adalah emosi negatif malah tersebar ke mana-mana. Bukannya menyelesaikan masalah, malah menambah masalah." pungkasnya.

Redaktur : Imam Haris Prayitno

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline