Awalnya, bunda memiliki prinsip tidak akan menyediakan televisi dirumah. Tetapi tiba-tiba si nenek datang dengan membawa seperangkat elektronik televisi, dengan alasan "kasihan, cucu-cucunya bila tidak ada TV dirumah".
Bunda bingung, mau diapakan TV ini? sementara bunda dan suami sudah memiliki kesepakatan untuk say "No" to black magic box karena sudah mempelajari semua dampak negatifnya. Apa yang akan bunda lakukan dengan TV yang sudah terlanjur ada dan tinggal colok saja? menolaknya atau menerimanya?
Dengan berat hati, akhirnya saya pun memutuskan untuk menerimanya agar ibu saya tidak kecewa. Hingga akhirnya saya menyadari bahwa adanya televisi dirumah tidak selalu memberikan dampak negatif ke buah hati kita, asalkan bunda bisa mengaturya dengan baik.
Pada bulan -- bulan pertama televisi harus nangkring di tengah ruang keluarga, apa yang menjadi kekhawatiran saya benar terjadi. Hampir full satu hari penuh, anak saya tidak bisa lepas dari layar kaca.
Apalagi setelah tahu ada channel yang hampir setiap hari mulai dari siang hingga malam memutar acara -- acara kartun. Hampir tidak ada hentinya, saya dan suami menggerutu dan hampir setiap hari mengomeli anak saya. Berbagai carapun kami lakukan agar membuat anak saya merasa tidak nyaman ketika menonton televisi.
Mulai dari menempatkan televisi ditempat yang tinggi sehingga tidak mudah terjangkau dan tidak nyaman menonton, menyembunyikan remote TV, hingga mengamcam akan mengembalikan televisi kepada eyangnya.
Namun, seolah semua hal tersebut berlalu seperti angin yang berhembus saja bagi anak saya. Namanya anak, selalu ada saja cara, tingkah pola dan akalnya. Sebelum remote saya sembunyikan, justru anak saya lah yang menyembunyikan remote terlebih dahulu, agar ketika saya lengah anak saya dapat menyalakan TV dengan mudah.
Saya dan suamipun berpikir untuk mencari cara, bagaimana agar tidak lagi bertengkar dengan anak saya hanya gara-gara benda satu yang bernama "televisi" tersebut.
Hingga akhirnya peristiwa rusaknya remote TV,membuat saya berpikir dan merubah prespectif saya akan keberadaan televisi tersebut. Saya pun mencoba mencari sisi positif dari adanya televisi tersebut. Daripada saya ramai terus gara-gara televisi, lebih baik saya berdiam diri, menerimanya dan kemudian "merubah pola dan membuat kesepakatan-kesepakatan" dengan anak saya.
Kesepakatan pertama yang kami buat adalah mengatur jadwal menonton TV. Saya dan suami sepakat untuk tidak menghidupkan TV dipagi hari sama sekali. TV baru boleh dihidupkan ketika anak saya sudah datang dari sekolah dan setelah makan. Hal tersebut juga dijadikan sarana untuk memancing anak saya untuk duduk dan mengistirahatkan tubuh selepas anak kami beraktifitas seharian disekolah.
Dan selama TV menyala, volume suara kami buat kecil hingga sayu -- sayu ketika mendengarnya. Biasanya, karena sudah kecapekan dengan aktifitas di sekolah dan duduk dalam kondisi kenyang sambil sayu-sayu mendengar suara TV, membuat anak saya tertidur dengan sendirinya.