Tadi pagi aku bikin status tentang sebuah campaign #SawitBaik dan biasanya yang komen sampai pada sebuah ungkapan kebahagiaan "aku bersyukur enggak pernah tergiur kerja di perkebunan sawit meski tawarannya menarik", aku sih curiga itu hoax hahaha soalnya kerja di perkebunan itu enggak ada yang menarik haha. Sebaliknya aku bahagia dan tak menyesal menjadi seorang planter karena ada banyak kebaikan yang kami bawa ke alam hutan.
Aku sudah 16 tahun bekerja di perkebunan kelapa sawit, sejak tahun 2002 dan aku memulai karir di perkebunan sebagai Buruh Harian Lepas (BHL) kalau masuk ya dibayar dan kalau libur ya enggak dibayar. Aku lulusan sarjana dari IPB, di kala orang teriak-teriak anak IPB banyak diperbankan maka saatnya aku unjuk diri bahwa anak IPB juga masuk hutan.
Kenapa aku memulai karir dari BHL? Jujur karena aku masuk atas rekomendasi orang dekat, aku merasa tak punya pengalaman jadi saat itu aku mau saja memulai dari BHL sampai oneday ada seorang General Manager berkunjung ke site dan mendapati seorang Sarjana berstatus BHL dan sejak itu nasib baik membuat aku menjadi karyawan tetap kesayangan haha.
Saat itu aku bekerja di wilayah Sumatera Selatan, pertama kalinya aku masuk jauh ke dalam hutan. Ibuku sampai menangis mengajak aku pulang, tapi aku berkata semua akan baik-baik saja. Tidur di tenda biru lalu setelah areal terbuka barulah dibangun perumahan, rumah panggung ges which is jangkrik bisa saja melompat ke wajahmu ketika tertidur pulas.
Saat di hutan pertama kalinya aku berpapasan dengan beruang madu, badannya besar banget dan surveyor saat itu memberi kode untuk diam mematung supaya beruang tak mengetahui keberadaan kami. Selain itu aku juga melihat rusa bahkan harimau. Hewan-hewan itu pergi menjauh semakin dalam ke hutan.
Pembukaan lahan sudah kami mulai, pembukaan lahan kami lakukan secara mekanis menggunakan alat-alat berat seperti Excavator dan bulldozer. Ternyata sejak 2000-an teknik membuka hutan dengan cara membakar sudah dilarang pemerintah, membuka lahan harus zero burning, enggak boleh dengan membakar.
Tahun 2006 di kebun kami terjadi kebakaran yang cukup luas, untuk pertama kalinya aku mulai bisa membayangkan panasnya api neraka itu gimana? Jaraknya 1 KM dari ku tapi hawa panasnya mampu membuat muka merah, dari siang sampai dini hari kami berusaha memadamkan api. Siapa yang membakar? Bukan kami tapi lahan kami yang sudah ditanami kelapa sawit ikut terbakar.
Masyarakat sekitar perkebunan punya lahan dan mereka biasanya menunggu musim kemarau untuk membuka ladang dengan cara membakar. Dulu sebelum ada perusahaan kami begitu memang cara mereka, tentu saja ini karena keterbatasan dana petani lokal. Namun yang disorot tentu perusahaan padahal kami pun mengeluarkan dana dan energi mengatasi kebakaran, bukan itu saja Asisten dan Manager pun harus mendapat SP dari atasan karena dianggap lalai sehingga kebakaran bisa meluas masuk ke areal perkebunan kami.
Kini sudah 16 tahun aku bekerja di perkebunan, 8 tahun aku stay di site dan ada banyak kebaikan yang aku rasakan. Dulu orang-orang di pedalaman sana boro-boro bisa kenal jalan tanah, tapi sejak ada perusahaan perkebunan kelapa sawit mereka bisa menjejakkan kakinya ke tanah keras (selama ini aksesnya perahu).
Dulu boro-boro mikirin sekolah anak namun dengan keberadaan kami mereka bisa melihat anaknya sekolah dan diantar jemput kendaraan dari perusahaan, dulu boro-boro para perempuan berpikir untuk punya penghasilan namun sejak ada perkebunan sawit mereka bisa bekerja menambah penghasilan rumah tangga, para kepala desa juga bisa makin sukses karena menjadi pemborong di daerah perkebunan, masyarakat bisa punya akses kesehatan meski berada ratusan kilometer dari aspal hitam.
Jangan bilang kerja di kebun seperti perkebunan kelapa sawit itu enak, tapi kalau belum pernah memang enggak akan bisa membayangkannya. Aku bangga menjadi planters palm oil karena nyatanya saat ini sawit adalah komoditas ekspor paling tinggi dan adalah fakta industri sawit bisa menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia.