Lihat ke Halaman Asli

Uli Hartati

TERVERIFIKASI

Blogger

Ketika Takbir Tak Mampu Membawaku Kembali

Diperbarui: 23 Mei 2019   13:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

by ulihape

Senja kala itu sungguh hari yang penuh kegembiraan, semua bergegas ke Masjid, tak ketinggalan aku pun mematut wajah di cermin, memilah kerudung mana yang akan aku kenakan menuju masjid. Aku ingin mata itu tertuju pada ku ...

Kerudung pink, baju abu dan rok pink menurutku adalah pakaian terbaik yang aku miliki. Aku membelinya bersama Ibu, yah memang untuk sholat Ied esok hari, tapi tak mengapa bila kukenakan saat ini karena aku tahu dia akan hadir di masjid malam ini. Aku ingin senyumnya tertuju pada ku ...

Akhirnya suara adzan bergema, Ibu memanggilku untuk segera berbuka. Setelahnya kami sholat Maghrib di Masjid, aku mengambil barisan di belakang karena aku ingin bersama Meri dan Shinta. Kedua teman ku menggodaku "ciee baju baru udah dipakai aja nih?", kami tersenyum dan mulai khusyuk untuk sholat berjamaah. Masjid kami memang seperti ini, di hari terakhir Ramadhan semua keluarga ke masjid dan membawa aneka makanan untuk berbuka. Setelahnya kami pun melakukan takbir, takbir kemenangan kami semua yang sudah satu bulan melakukan ibadah puasa. Suara takbir itu sungguh merdu, dan tanpa menatapnya aku tahu dia sudah ada di masjid ini. Aku ingin segera bertemu ..

Meri dan Shinta sudah tahu kalau aku menyukai si pemilik suara merdu ini, sebagai teman mereka berusaha mengingatkan ku untuk tak buru-buru menyukai pria baru yang hadir di masjid kami sebulan lalu. Namun aku yakin dia adalah sosok pria sholeh, bahkan semua lafadznya saat mengaji bukan hanya membuat aku hanyut melainkan Pak Ustadzpun ikut mengaguminya. Sementara Ibu selalu memberi nasihat yang itu-itu saja, kadang aku bosan namun Ibu tak pernah tahu betapa hati ku merindu di cintai seorang pria, apalagi sejak kecil aku tak pernah merasakan perhatian seorang Ayah. Aku hanya ingin merasakan cinta bu...

Hari makin larut dan kebahagiaan kami membuat kami tak merasakan kantuk, Ibu memanggil ku "mari pulang, besok harus bangun pagi karena Ibu mau masak kuah lontong", untunglah Meri dan Shinta menemaniku sehingga Ibu tak kuasa menghalangi keinginan ku untuk tinggal lebih lama di masjid. Ibu pun meninggalkan masjid dengan nasihat yang itu-itu saja "Jaga diri, ingat Allah". 

Suara takbir sudah berganti, aku pun mengajak Meri dan Shinta, ketika kami saling dorong tiba-tiba "bruuuk, aku menabrak seseorang", kedua temanku kompak "cieeeee" ternyata aku menabrak dia, pria yang selama ini membuai angan kesepianku. Meri dan Shinta menarik ku dan pemuda itu langsung meminta maaf dan ternyata suaranya berat, beda banget ketika melantunkan ayat-ayat suci dan mata nya yang selama ini ingin kutatap ternyata membuat aku tak berani menatap lama. Aku terlalu malu ...

Takbir terus bergema, Meri dan Shinta mengajakku pulang namun kaki ku berat melangkah. Kami sudah tak di masjid lagi tapi kami ada di warung bakso pak Tono. Pemuda itu mengajak kami untuk makan bakso, jujur aku sih hanya tertarik pada nya, beda dengan Meri dan Shinta yang memang suka banget makan bakso. 

Diaz namanya, selama 20 menit kami di warung bakso tak banyak tanya darinya. Justru kamilah yang banyak bertanya, kenapa dia hanya sendirian di kota ini ? Apa pekerjaannya ?, masih punya orangtua dan saudara gak ? , begitulah aku cerewetnya namun dia hanya tersenyum. Senyum yang selama ini aku tunggu, namun tak mampu membuat aku membalasanya.

Akhirnya Meri dan Shinta meninggalkan kami berdua, Diaz mengajak ku untuk kembali ke masjid, dan aku mengikuti langkahnya. Hei kenapa punggungnya agak menonjol ? Apakah itu penyakit ? Aku tak berani menanyakannya, dalam perjalanan itu Diaz akhirnya bersuara "jangan menyukai ku", spontan aku malu sebegitu merindukah aku sehingga dia tahu tujuanku ? Kenapa tanyaku ? Karena aku akan pergi jawabnya. Ehm mungkin dia memang nomaden, mungkin dia memang hanya datang untuk singgah. Belum juga aku memiliki aku harus kehilangan, kadang hidup memang payah, gumam hatiku.

Akupun izin pamit, masjid masih saja ramai dengan bapak-bapak, anak-anak, remaja dan pemuda lainnya. Suasana malam takbiran selalu mampu membuat orang betah di masjid. Aku masih mendengar takbir, aku masih mendengar irama beduk , sungguh besok adalah hari nan Fitri. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline