Kompas/Wisnu Widiantoro - Seorang warga menaiki mobil omprengan yang melintas di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, Selasa (15/4). Maraknya omprengan membuat para sopir angkutan umum resmi gelisah.
Omprengan, sebuah kegiatan memberdayakan mobil pribadi menjadi angkutan massa. Sudah hampir 3 tahun terakhir saya mengenal "omprengan", mobil-mobil pribadi dijadikan angkutan. Saya berdomisili di daerah Tangerang dan bekerja ke Jakarta. Banyak pilihan kendaraan umum dari Tangerang menuju Jakarta, namun untuk kenyamanan dan penghematan biaya maka omprengan merupakan alternatif pilihan yang menggoda.
Namun, kemarin di tengah hari adikku menelepon atas permintaan Mamak, menyuruhku untuk lebih berhati-hati ketika naik omprengan, karena ternyata peristiwa perampokan dua orang korban di pertengahan Juli 2015 sedang dibahas di media-media. Kebetulan kejadian adalah omprengan Jakarta-Tangerang. Dan tadi saya sempatkan untuk melihat berita mengenai perampokan di omprengan tersebut, dari beberapa link tertulis "TAKSI OMPRENGAN", dan sungguh keliru bila menyebutkannya sebagai taksi omprengan.
Untuk beberapa kota, omprengan itu merupakan bisnis tersendiri. Tapi untuk daerah Tangerang, hampir semua omprengan itu sifatnya non-komersil, karena hanya menggunakan azas manfaat, saya sebagai penumpang bisa duduk nyaman di mobil pribadi yang bersih dan nyaman sedangkan si pemilik mobil mendapatkan imbalan untuk digunakan membeli BBM dan bayar tol "take and give".
Omprengan Tangerang-Jakarta bisa ditemui di daerah Islamik Karawaci. Setiap pagi sudah berjejer mobil-mobil pribadi siap untuk ditumpangi. Dan selalu ada "calo" (seseorang yang bertugas untuk meneriakkan arah tujuan omprengan, dan untuk jasa ini maka pemilik mobil akan memberikan uang kepada orang tersebut). Kita sebagai penumpang tinggal tanya ke calo tersebut, "Bang, komdak mana?" nanti dia akan menunjukkan mobil mana yang searah dengan keinginan saya. Dan tak jarang para penumpang harus saling rebut setiap kali menaiki omprengan.
Begitu mobil terisi penuh maka para penumpang sudah serentak mengeluarkan uang, biaya omprengan bervariasi bergantung pemilik mobil berkisar antara 7.000 sampai 8.000 rupiah (sama dengan ongkos angkutan umum resmi). Bila ada uang yang harus dikembalikan maka sesama penumpang yang saling bantu, pokoknya pemilik mobil tinggal terima dan jarang sekali dihitung ulang. "Ini Pak, sudah pas," kata penumpang paling depan dan pemilik mobil berkomentar, "Makasih, tolong bantu Pak, letakkan di sini," sambil menunjuk tempat meletakkan uang.
Kalau pemilik mobil ramah, tak jarang berbagi makanan yang dimilikinya. Biasanya sih penumpang habis bayar-bayar memilih untuk tidur karena memang kita tidak saling kenal, dan ada juga pemilik mobil yang rajin menyapa, membuka pembicaraan dan sahut-sahutanlah kita untuk bercerita. Dan pemilik mobil akan menurunkan kita sesuai permintaan kita. Saya pribadi sering menanyakan, "Bapak kantornya di mana?" "Saya jauh, Bu, di Pasar Minggu," (misalnya) maka saya akan meminta ikut sampai ke Pancoran dan biasanya pemilik mobil akan setuju tanpa harus menambah ongkos dan di sini saya bisa hemat 1 kali ongkos untuk sampai ke kantor.
Omprengan itu bukan taksi. Khususnya daerah Tangerang tidak ada omprengan spesialis komersil, artinya mobil yang dikhususkan untuk mencari uang. Semua omprengan Tangerang benar-benar orang yang memiliki mobil dan bersedia membawa rekan-rekannya (malah beberapa mobil sudah terisi penuh dengan rekan sekantor) dan bagi saya ini adalah sebuah pilihan yang nyaman. Saya tidak perlu berdesakan dan tidak kebagian tempat duduk bila naik bis dan saya bisa nyaman sambil sarapan atau berdandan. Mobil omprengan juga bagus-bagus, dan beberapa kali bisa mendapat omprengan Fortuner atau Pajero, kalau ini sih sepertinya milik perusahaan atau milik majikannya hehhehe.
Untuk arah balik Jakarta - Tangerang, meeting point-nya adalah di Slipi Jaya Mall dekat haltenya, dan di sini juga sudah ada calo yang bisa kita tanyai mobil mana yang sampai Islamik, Perum, Lippo, atau bahkan hanya sampai rest area, rutenya hanya ini, itu pun karena menyesuaikan rumah tinggal si empunya mobil dan penumpang juga berebutan. Menurut saya omprengan patut didukung pemerintah. Dengan begini sudah terjadi pengurangan kendaraan dan pemakaian BBM. Daripada program Three in One yang gak efektif sepertinya omprengan masih jauh mengenai sasaran mengurangi kemacetan.
Namun, tetiba berita adanya perampokan terhadap penumpang omprengan membuat saya mulai was-was. Selama ini saya sangat nyaman dan selalu santai, tapi sejak mendengar kejadian tersebut saya mulai ada rasa khawatir. Dan kemarin saya tanya ke calo yang di Slipi Jaya, ternyata dia tidak mengetahui kejadiannya. Alhamdulillah tadi pagi saya naik omprengan dan di sebelah saya seorang ibu yang suami temannya merupakan salah satu korban perampokan di omprengan. Kejadiannya tidak seperti yang dituliskan media online.
Malam itu sekitar jam 10 seorang karyawan dan karyawati sedang menunggu omprengan. Namun, dalam menunggu tersebut ada dua orang pria juga yang menanyakan omprengan. Karena hal ini sudah biasa, tidak ada kecurigaan, dan beberapa menit kemudian ada sebuah mobil menepi dan memang seperti itulah omprengan. Namun, di jam 10 malam si abang calo sudah tidak ada (calo hanya sampai jam 19.30). Di dalam mobil tersebut sudah ada 2 penumpang yang 1 duduk paling kanan (di belakang supir) kursi tengah dan 1 lagi paling belakang (dan keadaaan seperti ini juga biasa karena terkadang penumpang tersebut sekantor dengan pemilik mobil sehingga sudah ikut dari kantor dan untuk memudahkan penumpang lain naik, maka susunannya seperti itu). Kedua korban juga tidak aneh.