Lihat ke Halaman Asli

Berlabel "Ayam Kampus", Mengorbankan Moral Demi Bergaya a la Sosialita

Diperbarui: 28 Februari 2017   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Doc. 27/09/2012. Kampus UNIB

Kampus adalah salah satu tempat berlangsungnya pendidikan. Tak salah, jika kampus dianggap sebagai tempat belajar karena mahasiswa bisa menggantungkan impian dan cita-cita dan masa depan. Di dalam kampus mahasiswa tidak sekedar datang untuk kuliah, ujian, dan kumpun tetapi kampus menjadi sarana pengembangan bakat dan penanaman nilai-nilai, sehingga ruang kuliah dan berbagai kegiatan kampus itu diharapkan akan lahir mahasiswa yang kreatif, kristis, bertanggung jawab dan bermoral.

Namun sungguh sayang pada kenyataannya, tidak semua kalangan terpelajar itu bisa mengikuti transformasi ilmu yang ditanamkan secara positif. Banyak dari antara mereka yang justru terjebak pada perilaku tak bertanggungjawab, hal itu tercermin dari banyaknya kalangan mahasiswa yang terjebak pada obat-obatan hingga perilaku seks.

Bahkan bukan hanya seks bebas saja yang dilakukan para mahasiswa ini. Tetapi banyak diantara mereka yang juga terjebak dalam prostitusi. Prostitusi merupakan suatu pertukaran antara pembelian pelayanan sesksual dengan uang ataupun sumber lainnya. Kampus sebagai tempat penting untuk mendidik para mahasiswanya menjadi seseorang yang berguna tetapi ada para mahasiswanya bekerja menjual diri yang dikenal juga sebagai “ayam kampus”. Istilah ayam kampus memang kerap kali dikonotasikan dengan dunia prostitusi di lingkungan perguruan tinggi. “Ayam kampus” biasa diarahkan kepada mahasiswi yang “jualan”, tentu dengan imbalan uang Status mahasiswi rupanya bisa dimanfaatkan untuk meraup keuntungan. Biasanya, para wanita yang “jualan” membawa embel-embel itu untuk menaikkan posisi tawarnya. Label mahasiswi memang cukup digandrungi para pria hidung belang. Mereka membawa nama mahasiswa untuk menambah “nilai jualnya”, sehingga mendapatkan bayaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya.

Mahasiswi yang melakukan “jualan” sebenarnya bukanlah cerita baru bahkan di Kota-kota  pelajar sekalipun. Mereka masuk dalam golongan “penjaja cinta” kelas “wahid” karena berpendidikan. Dan sudah tentu lebih memiliki nilai jual ketimbang wanita yang menjajakan diri di pinggir jalan. Sebutan sebagai ayam kampus pun sudah sangat familiar. Pola kerja para “ayam” biasanya, pagi hingga siang atau sore kuliah, malamnya kelayapan. Entah dengan siapa, yang penting kantong bertambah.

Maraknya praktik prostitusi yang dilakukan mahasiswi yang biasa dikenal dengan istilah “ayam kampus” merupakan fenomena memprihatinkan. Hal ini dinilai sebagai indikator semakin menurunnya kualitas moral masyarakat lebih tepatnya lagi kepada “kaum perempuan” yang berlabelkan “kaum intelek” atau mahasiswi. Hal itu seharusnya tidak terjadi mengingat mahasiswi merupakan kelas sosial dengan tingkat pengetahuan yang tinggi.

Menyoroti kasus prostitusi yang melibatkan mahasiswi sebagai hal yang fatal sebagai bentuk perendahan martabat manusia sendiri. Para pelaku sendiri oleh tindakannya itu telah menginjak martabat dan harga dirinya sendiri sebagai seorang perempuan berintelek yang menyandang status sebagai mahasiswi. Sebagai bangsa yang beradab, sejak awal kita memang tidak menyetujui praktek-praktek seks bebas yang menggerogoti martabat manusia sendiri sebab praktek seks bebas yang telah melibatkan kalangan terdidik itu dianggap sebagai aktivitas yang rendah, sekurang-kurangnya dari sebutan “ayam kampus” bagi para oknum mahasiswi yang telah melakukannya. Kata “ayam” menunjukkan sebuah pelecehan yang mengarah kepada perendahan martabat manusia khususnya bagi kaum perempuan.

Entah mungkin karena dia terpengaruh kehidupan yang glamour di luar jangkauan kemampuannya sehingga mengakibatkan yang bersangkutan ingin mengambil jalan pintas. Sedangkan moralnya mungkin tidak memenuhi. Atau demi alasan ekonomi, mahasiswi yang terpaksa menjual dirinya demi memenuhi kebutuhan biaya kuliah bahkan ada juga mahasiswi tersebut merasa perlu menjajakan tubuhnya kepada dosennya sendiri untuk mendapatkan nilai A dalam mata kuliah yang diasuh dosen bersangkutan. Terlepas dari tindakan dan keputusan bebas dan bersifat pribadiah dari para calon intelektual itu, sebutan “ayam kampus” yang dikenakan kepada mereka terasa sangat merendahkan martabat para mahasiswi yang terlibat praktek prostitusi itu. Dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, meskipun itu adalah prostitusi. Karena upah yang mereka dapatkan berkali-kali lipat. Jadi tak heran jika prostitusi masuk dalam dunia kampus. Yang menjadi alasan bagi mahasiswa bisa terjerumus dalam dunia prostitusi juga sangat kompleks, karena menyangkut masalah ekonomi, sosial, pendidikan, dan ada juga pendapat yang mengatakan karena salah bergaul.

Sangat miris melihat fenomena mahasiswi menjadi “ayam kampus”. Seharusnya, sebagai intelektual muda mahasiswi fokus pada studi, bukan justru melakukan perbuatan menyimpang. Seperti itu tidak terpuji, orang ingin mendapatkan sesuatu secara mudah. Pandangan miring akhirnya tak bisa dihindarkan, dan sudah barang tentu ini berdampak juga ke mahasiswi yang sejatinya benar-benar ingin kuliah. Tak jarang stigma tempat “ayam kampus” berkumpul diberikan ke universitas tertentu. Secara kasat mata memang sangat sulit dibedakan mana mahasiswi plus-plus. Biasanya mereka menutup rapat-rapat identitasnya sebenarnya. Dan hanya dengan mahasiswi yang satu profesi para wanita itu mau terbuka.

Pamor sosialita muncul ketika ego suatu individu menjadi lebih tinggi dan berharap dipandang lebih di mata orang lain. Kita bisa melihatnya sekarang di lingkungan perguruan tinggi, tidak sedikit mahasiswi yang menunjukkan keberadaannya melalui penampilan yang glamour. Hidup mahasiswi sekarang ini lebih banyak mengarah pada gaya hidup konsumtif bahkan cenderung hedonis. Para wanita kadang tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Dia selalu ingin tampil up to date agar tidak dibilang ketinggalan zaman. Gaya hidup mewah menjadi sesuatu yang penting untuk beberapa kalangan mahasiswa, namun harapan tersebut berbanding terbalik dengan yang pendapatan mereka. Untuk memenuhi keinginan tersebut tentu harus merogoh kocek yang tidak sedikit. Wanita yang masih menyandang status mahasiswi memilih menjadi “ayam kampus” untuk bergaya hidup sosialita. Tuntutan gaya hidup yang harus dipenuhi memperkuat alasan mereka untuk memilih profesi sebagai “ayam kampus”. Tak heran jika predikat “ayam kampus” bukan menjadi sesuatu yang aneh bagi para pelaku. Tampaknya, hal tersebut belakangan ini justru menjadi tren. Mayoritas masyarakat yang tak setuju pun kini masih sebatas kurang suka dengan perilakunya, tak sampai membencinya. Bahkan, beberapa orang lebih memilih acuh tak acuh terhadap persoalan tersebut. Persoalan menggejalanya tren “ayam kampus” didukung tersedianya akses teknologi tanpa batas yang lebih dipengaruhi budaya Barat. Informasi dari media massa terutama media elektronik, diadopsi begitu saja oleh remaja tanpa ada penyaringan yang tepat.

Meskipun menjadi “ayam kampus” mendapatkan uang yang banyak tetapi pekerjaan ini memiliki resiko yang tinggi. Mereka harus menghadapi siapapun yang “membayar” mereka. Seringkali terjadi kekerasan seksual dan juga mereka harus menerima penyakit menular seksual. Jika “ayam kampus” semakin bertambah, tidak hanya moral remaja yang semakin buruk tapi jumlah remaja yang terkena HIV dan AIDS, aborsi, serta berbagai jenis penyakit kelamin, akan semakin banyak.

Kebanyakan perempuan menganggap dirinya hanya dapat diandalkan dengan tubuhnya sendiri. Sehingga tak mengherankan lagi jika kebanyakan kaum adam memadang kaum hawa sebagai makhluk indah, surga duniawi diatas pemikirannya sendiri. Bahkan ada juga yang memberikan opini bahwa perempuan hanya memiliki tiga arti yaitu, “kasur, dapur dan sumur”. Demikianlah pelabelan negatif terhadap perempuan, selain dianggap lemah dan tidak mampu, perempuan hanya dianggap sebagai alat untuk pemuas birahi. Apa yang menjadi fenomena saat ini, ketika seorang mahasiswi menerjuni profesi sebagai pelaku praktek prostitusi, telah menunjukkan perempuan juga sebagai cermin bahwa bangsa kita belum memiliki peradaban yang tinggi. Kita harus lebih peduli dan mau mengatasi permasalahan pelik dalam kehidupan remaja tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline