Lihat ke Halaman Asli

Pertemuan di Kereta

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini adalah hari terakhirku di kota mendoan. Aku pergi lagi-lagi dengan alasan pedidikan. Enam tahun yang lalu aku pergi dari surga masa kecilku di Ranah Minang pulau seberang dan harus ke kota SATRIA ini untuk meneruskan sekolah tingkat pertamaku. Hari ini aku pergi lagi dan tujuanku kali ini adalah kota pelajar, Yogyakarta. Pengumuman SNMPTN kemarin adalah keputusan bulat dan akhir, aku tidak mungkin bisa menghindari UGM sebagai tempat lanjutanku mencari ilmu. Perjalanan lima jamku kulalui dengan berkereta, cukup kelas ekonomi saja sudah bisa mengantarkanku ke Jogja. Pukul enam pagi aku sudah berada dalam gerbong, berbaur dengan puluhan penumpang lain dan bau-bauan yang beranekaragam. Atmosfer seperti ini memang bukan yang pertama kali kujalani. Namun ini terasa beda, sebab aku sebatangkara sambil membawa dua ransel penuhku. Teman-temanku sudah lebih dulu berada di Jogja sejak kemarin. Mereka berjanji akan menjemputku di stasiun nanti.

***

Aku duduk di kursi nomor 15 A, di depanku ada seorang ibu dan dua orang anaknya. Lalu di sebelah kiriku ada seorang mahasiswi cantik berkerudung yang duduk manis. Aku berharap dia adalah seniorku di Universitas yang sedang aku tuju. :)

Aku melihat sekeliling dan bersyukur bahwa tidak ada perokok di dekatku. Satu-satunya alasan yang membuatku tidak suka kereta ekonomi adalah tidak adanya peraturan dilarang merokok. :D Perjalanan sudah berlalu selama satu jam. Roda-roda kendaraan panjang jarak jauh ini terus melaju sambil menimbulkan suara khasnya. Lambat laun mataku mulai terbuai angin dan udara pagi hari yang lembut. Tak ingin tertidur di kereta, aku terus memandangi sekeliling meski kali ini dengan setengah sadar. Dan aku menjadi 100% sadar saat mataku terbelalak bertemu dengan pandangan seseorang yang tak asing lagi bagiku.

***

Bagus Muhammad Akram adalah laki-laki yang menundukkan pandanganku. Tiga tahun berpisah tidak mungkin membuatku lupa senyuman dan tawa lepasnya. Dia duduk terpaut tiga kursi dariku. Aku berada di bagian deret sebelah kanan, dan dia di bagian kiri. Wajar bila dia tidak melihatku. Sesaat suasana menjadi haru. Bau coro dan pikuk suara penumpang serta ributnya penjual yang mondar-mandir menjadi hal yang tidak dapat dipedulikan. Perpisahan di masa SMP terasa baru kemarin dan aku sangat senang dengan pertemuan ini. Mataku bisa saja melihatnya, tapi matanya mungkin tidak menyadariku.

Perjalanan ke Jogja masih empat jam lagi. Berarti masih tersisa waktu empat jam sebelum kami berpisah lagi, tidak tahu untuk berapa lama. Tiga tahun saja sudah banyak cerita yang terjadi yang tidak saling kami ketahui. Tentu akan menjadi sangat menyenangkan jika kami mengobrol. Kegengsianku membuat kakiku lemas melangkah mendekatinya, padahal masih ada ruang di sebelahnya yang sangat cukup untuk menampungku.

***

Aku menahan semua keinginanku. Sungguh egois! Bisa kubayangkan betapa asyik dan senangnya jika aku berhasil berbagi cerita dengannya. Aku ingin bercerita tentang orang yang mirip dengannya yang pernah kutemui, tentang dia yang kadang muncul dalam mimpi, tentang teman-temanku yang selalu bertanya semua hal mengenai dia. Entah dia akan mendengarkan atau tidak. Tapi semua keinanku tersegel oleh sebuah rasa gengsi dan malu. Aku sangat sangat ingin. Melihat wajahnya dari dekat, mendengar suaranya saat bercerita, mengetahui warna kesukaannya sekarang, hobinya, lagu favoritnya, dan apakah cita-citanya masih sama seperti yang dulu. Tiga tahun yang benar-benar memisahkan kami. Tapi lambat laun aku menjadi tidak yakin dengan semua keingintahuanku. Mungkin saja dia tidak seramah dulu, dan menganggap aku hanya sebagai bagian kecil masa lalunya yang tidak begitu penting bahkan untuk dijadikan seorang teman. Akhirnya aku diam. Semilir angin melalui celah jendela kereta membuatku ngantuk.

***

Aku tertidur diiringi suara gitar dari seorang pengamen yang menyanyikan lagu "Semua Tentang Kita" milik PeterPan. Menghabiskan tiga jam pertemuan tanpa kata di kereta, dan menutupnya dengan dua jam dalam mimpi. Senandung lagu itu terasa nyata, masuk ke dalam mimpi, membawa serta kisah masa lalu. Aku tertidur dengan gambaran terakhir yang kubawa dari alam sadar, adalah senyuman Akram. Ternyata dia melihatku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline