Lihat ke Halaman Asli

DPT Sebaiknya Ditiadakan...

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ini sekadar saran. Atau anggap saja sebagai pikiran liar. Jadi tak perlu ditanggapi dengan dahi berkerut, apalagi malam-malam seperti ini.

Barusan saya baca, lima tim sukses pasangan calon gubernur/wakil gubernur DKI Jakarta menolak penetapan daftar pemilih tetap (DPT). Alasannya, sederhana, mereka yakin ada DPT ganda dari 6.982.179 pemilih yang ditetapkan KPU DKI. Banyak kejanggalan di dalamnya, sehingga mereka sepakat untuk menolak DPT yang ada.

Rasa-rasanya, setiap ada pemilihan--baik presiden atau kepala daerah, persoalan DPT selalu bermasalah. Baik sejak proses pendataan, hingga ketika ditetapkan. Ada saja pihak yang keberatan. Bahkan tak sedikit yang menjadikan kisruhnya proses DPT sebagai bahan gugatan ke Mahkamah Konstitutsi apabila kalah dalam pemilihan.

Saya berpikir sederhana saja. Bagaimana kalau DPT dihilangkan dalam setiap pemilihan. Jadi mereka yang memang ingin memilih presiden atau kepala daerahnya, cukup datang ke TPS dan menunjukkan kartu tanda penduduk daerah pemilihan.  Lalu mereka gunakan hak pilihnya.

Agar tak menggunakan hak pilih dua kali, torehkan tinta di jarinya yang bekasnya tak bisa hilang selama tiga hari. Tentu saja syarat memilih yang lain tetap harus dipenuhi, seperti batas usia, tidak gila, dan sebagainya.

Bagaimana jika ada calon yang memobilisasi orang dari luar wilayah untuk membuat KTP daerah pemilihan? Ini harus menjadi perhatian pengurus lingkungan di wilayah pemilihan. Perketat setiap ada warga baru. Suruh mereka lengkapi syarat pindah domisili, seperti surat pengantar pindah dari daerah asal dan alamat baru. Tanpa itu, jangan pernah terbitkan KTP baru.

Lalu bagaimana jika pengurus lingkungan yang nakal dengan berani menerbitkan KTP baru tanpa dasar yang jelas? Jika terbukti, kenakan hukum pidana. Harus ada sanksi yang serius.

Dengan begitu, pemilih tak lagi "terpaksa" memilih. KPU atau panitia pemilih juga tak perlu buang-buang anggaran untuk melakukan pendataan pemilih, mencetak/memperbanyak DPT, atau membuat undangan kepada pemilih.

Layani saja mereka yang ingin gunakan hak pilihnya dengan baik. Jangan paksa mereka yang tak ingin memilih. Tanpa DPT, kemungkinan orang yang golput memang akan banyak. Tapi dengan DPT, bukankah golput memang sudah banyak?

Untuk Pemilihan Gubernur Jakarta, kalau tidak salah, KPU menyiapkan anggaran Rp 258 miliar--sebagian tentu untuk pengadaan dan sosialisasi DPT. Asumsinya, Rp 190 miliar untuk putaran pertama dan Rp 68 miliar untuk putaran kedua.

Saya membayangkan, jika DPT dihapus dalam pemilihan, tentu akan banyak anggaran yang bisa dihemat. Sebagai gantinya dana itu bisa dialokasikan untuk kepentingan yang lebih mendesak, seperti perbaikan sekolah rusak atau pembiayaan jamkesmas/jamkesda.

Tapi ini hanya saran. Jadi tak perlu ditanggapi dengan serius. Andai kata pun ditanggapi, jangan sampai dahi Anda berkerut.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline