Lihat ke Halaman Asli

Sultan Hamengku Buwono X: Antara Tahta atau Keluarga???

Diperbarui: 13 Januari 2016   08:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sultan Hamengku Buwono X, seorang sosok pemimpin yang menjadi teladan bagi sebagian orang, terutama di Yogyakarta. Gubernur dari Daerah Istimewa Yogyakarta yang juga menjabat sebagai Raja dari Kasultanan Yogyarta ini lahir pada 2 April 1946. Ia memilik 5 anak perempuan dari istrinya Gusti Kanjeng Ratu Hemas yaitu GKR Pembayun, GKR Condrokirono, GKR Maduretno, GKR Hayu, dan GKR Bendoro.

Dengan lima anak perempuannya tersebut sebenarnya menjadi kewaspadaan bagi masyarakat Yogyakarta. Pasalnya Yogyakarta sebagai daerah istimewa melakukan pemilihan Gubernur melalui sitem pewarisan tahta atau keturunan bukan dari pemilihan umum seperti daerah-daerah lain di Indonesia. Nah, kalu begitu adanya, berarti pewaris tahta dari Sultan Hamengku Buwono X adalah seorang Ratu yaitu GKR Pembayun sebagai anak tertua dari sang Gubernur. Namun sebagian orang Jawa, terutama orang jawa kuno masih mempercayai bahwa pemimpin haruslah laki-laki. Mereka meyakini apabila Kasultanan Yogyakarta di pimpin oleh seorang ratu maka kasultanan yang sudah sejak dulu dijaga dan dibanggakan oleh masyarakat Yogyakarta ini akan mengalami keruntuhan. Dikhawatirkan Kasultanan Yogyakarta akan mengalami pepecahan seperti saudaranya Kasunanan Surakarta yang terpecah menjadi dua seperti yang telah di ramalkan oleh seorang pujangga besar Indonesia yaitu Raden Ngabehi Rangga Warsita.

Kemudian pertanyaan-pertanyaan tersebut mulai mendapat jawaban setelah Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan sabda raja dan dhawuh raja yang isinya perubahan nama Sultan Hamengku Buwono X yaitu menghilangkan kata Khalifatullah dan mengganti Buwono yang artinya bumi dengan bawono yang artinya alam semesta serta pemberian gelar kepadaGKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi dan mewariskan tahtanya kepada putrinya sendiri GKR Pembayun. Hal ini menjadi polemik pada internal keraton Yogyakarta, Adik-adik Sultan mearasa sabda raja dan dhawuh raja tersebut tidak sesuai dengan Kasultanan Yogyakarta dan dianggap memutus tali keturunan dengan Raja sebelum-sebelumnya yang semuanya menggunakan nama Khalifatullah. Kesebelas adik Sultan menganggap bahwa Sultan telah dipengaruhi oleh kaum eksternal keraton yang ingin memecahbelah keraton yogyakarta.

Kesebelas adik Sultan tersebut tetap menolak sabda raja dan dhawuh raja dengan mendirikan paguyuban trah Ki Ageng Giring dan Ki ageng Pemanahan. Mereka telah mengangkat Gusti Bendoro Pangeran Haryo Prabukusumo, adik tiri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Sultan Hamengku Buwono XI dan menolak pengangkatan Putri Mahkota GKR Pembayun. Hal ini sangat patut di waspadai oleh masyarakat Yogyakarta bahwa sudah terjadi perpecahan dalam internal Keraton yaitu antara Sultan dan Adiknya. Hal ini sungguh bukan hal yang baik untuk kemajuan Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti yang dirasakan Sultan Hamengku Buwono X sehingga beliau membatalkan pengubahan namanya. Namun untuk masalah pewaris tahta Sultan masih kekeh dengan pendiriannya. Menurut pendapat saya wajar apabila Sultan mengangkat putrinya sebagai penerus tahtanya karena apabila kita tengok di jaman sekarang ini banyak sekali perempuan yang sudah berhasil menjadi seorang pemimpin. Perempuan sudah disetarakan dengan seorang laki-laki dan mendapat hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Namun tidak ada salahnya jika tetap mengikuti aturan para leluhur terdahulu dengan tetap memilih Raja dari kaum laki-laki. Hal ini juga didukung dengan ramalan kuno yang menyebutkan bahwa akan ada saatnya Kasultanan Yogyakarta dipimpin oleh seorang perempuan dan terjadilah keruntuhan pada saat itu. Tinggal apa pilihan Sultan Hamengku Buwono selanjutnya, akankah ia lebih memilih tahtanya untuk putrinya sendiri yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap hubungannya dengan adik-adiknya ataukah beliau lebih memilih untuk merelakan tahta dan kedudukannya untuk sang adik tertua GPBH Prabukusumo sehingga tidak ada perpecahan antara internal keraton sehingga membawa dampak baik bagi keraton Yogyakarta. Namun hal tersebut juga menimbulkan pertanyaan di benak saya sendiri kalau GPBH Prabukusumo diangkat menjadi pewaris tahta maka pada Raja selanjutnya apakah pewaris tahta tetap dari Putra Sultan Hamengku Buwono  X atau Putra dari GPBH Prabukusumo? Hal ini masih menjadi sebuah misteri, marilah kita tunggu keputusan Sultan selanjutnya, Tahta atau Keluarga yang dipilihnya? Semoga apapun yang menjadi keputusan Sultan adalah keputusan yang paling baik dan mendapat ridho dari Tuhan Yang Maha Esa.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline