Lihat ke Halaman Asli

Ulfa Arifah

Konselor SMP

Anak-Anak "Yatim Piatu"

Diperbarui: 29 Agustus 2023   18:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: adishasuntimes.com

Mendengar kata yatim piatu, tentu yang terbayang di benak kita adalah anak-anak yang sudah tidak memiliki ayah dan ibu. Mereka hidup terlantar tanpa bimbingan dan kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya. Wajahnya layu dan penampilannya memprihatinkan. Bahkan tidak jarang menjadi bahan ejekan teman-teman sepergaulan. Seandainya mereka berada di panti asuhan pun, tentu kasih sayang yang mereka dapatkan tidak mungkin sebaik jika kedua orang tuanya masih hidup. Karena di panti asuhan, jumlah pengasuh sangat terbatas.

Secara istilah, yatim piatu berarti suatu kondisi ketika anak ditinggal mati ayah dan ibu kandungnya di usia sebelum baligh. Baligh artinya seseorang yang telah sampai pada masa pemberian beban hukum syari`at untuk mengamalkannya (https://elizato.com). Sedangkan penentuan usia baligh secara umum adalah, keluarnya air mani ketika mimpi bagi anak laki-laki yang telah berumur 9 tahun, dan keluarnya darah haid (menstruasi) bagi anak perempuan yang telah berumur 9 tahun. Agama sangat menganjurkan supaya kita memberikan kasih sayang kepada anak-anak yatim, piatu, atau yatim piatu. Hal ini karena mereka masih sangat membutuhkan belaian, perhatian, dan bimbingan dalam mengarungi kehidupan. Apabila tidak dibantu dikhawatirkan mereka akan menjadi manusia yang tidak bermanfaat di masa dewasanya.

Dewasa ini, seiring dengan pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin meningkat, banyak orang tua yang kurang peduli terhadap perkembangan anak-anaknya. Mereka terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Urusan pekerjaan, percintaan, maupun hal yang kurang prinsip lainnya. Terkadang mereka juga membawa dan menyelesaikan masalah pekerjaan kantor di rumah. Saat-saat yang seharusnya digunakan untuk berkumpul dan berkomunikasi dengan keluarga. Ada juga yang bahkan harus bermalam berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan hingga beberapa tahun. Tanpa disadari, tiba-tiba anak-anak sudah remaja dan dewasa dengan karakter dan gaya hidupnya sendiri.

Kondisi ini diperparah dengan kurangnya kontrol orang tua maupun anak dalam pemanfaatan teknologi dan informasi. Gawai dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya ikut berperan besar dalam menjerumuskan pemakainya untuk melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Orang tua semakin sibuk dan tidak peduli dengan sekitarnya. Bahkan dengan adanya gawai banyak orang dewasa mencari kesenangannya sendiri meski harus mengorbankan kebahagiaan keluarganya. Begitu banyak orang tua yang berpisah dengan pasangannya hanya karena salah paham, atau karena mereka menjalin hubungan dengan orang lain. Tak hanya itu, berbagai masalah kesehatan sampai kematian mendadak bermunculan akibat dari pemanfaatan gawai yang tanpa kontrol. Dan terutama bagi anak-anak, benda tersebut bisa merusak kejiwaan dan menghancurkan karakter baik. Gawai dengan berbagai aplikasi menariknya, benar-benar memasung kemerdekaan siapapun yang memakainya. Gawai mampu menyihir pelakunya untuk terus menghabiskan waktu hidupnya hanya untuk dirinya, mengalahkan kewajiban-kewajiban lainnya.

Anak-anak akhirnya tumbuh dengan caranya sendiri yang mereka tidak tahu apakah cara itu benar atau salah. Lalu saat mereka tumbuh menjadi remaja, tingkah laku mereka semakin sulit dikendalikan. Sampai di sini kemudian orang tua akan mati-matian mencari solusi untuk masa depan anaknya yang lebih baik. Bahkan terkadang orang tua akan menyalahkan pihak lain dengan alasan tidak becus mendidik anaknya. Mereka lupa bahwa kedua orang tuanyalah yang paling bertanggung jawab atas pendidikan pertama anak-anaknya sejak usia dini. Anak berada di lingkungan sekolah hanya beberapa jam. Mereka lebih banyak berada di luar sekolah.

Begitu banyak anak-anak broken-home korban dari kelalaian orang tua. Mereka menjadi anak-anak yang tidak sehat baik secara fisik maupun mental. Jiwanya kering dan keras, sehingga mudah terjerumus ke dalam hal-hal yang merugikan. Mereka menjadi terlalu mudah melakukan penyimpangan. Sel otak mereka telah dirusak oleh hal-hal duniawi tanpa kontrol orang dewasa dan agama. Pergaulan bebas menyebabkan anak laki-laki dan perempuan terjerat kriminal, baik itu narkoba, pelecehan seksual, sex bebas, prostitusi, aborsi, hingga usaha penghilangan nyawa (pembunuhan ataupun bunuh diri).

Hal tersebut akan menjadi lebih buruk apabila anak-anak yang kurang perhatian tersebut merupakan anak inklusi. Anak yang memiliki perbedaan, dan harus diberi perlakuan khusus. Anak-anak yang tidak bisa berpikir atau bertindak sebagaimana anak normal lainnya. Mereka berpikir tidak ada yang menyayanginya di dunia ini. Mereka merasa tertolak dan terabaikan. Padahal menurut penelitian dr. Masaru Emoto dalam bukunya "The Miracle Of Water" (2006), hal yang terberat dalam hidup kita adalah tidak dipedulikan dan diperhatikan. Menurut Masaru, Pikiran adalah sesuatu yang nyata, ia berupa energi yang menyebar ke tempat yang kita pikirkan. Dengan memberikan perhatian kepada benda atau seseorang, kita memberikan energi pada orang atau benda tersebut. 

Mari kita curahkan perhatian kita kepada generasi muda ini dengan segera berbenah diri. Lalu belajar dan belajar. Karena anak adalah titipan, yang kelak pasti akan dimintai pertanggung jawaban.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline