Lihat ke Halaman Asli

Ulfatunnisa

Mahasiswi

"Norwegian Wood": Pemuda dan Life Crisis

Diperbarui: 6 Agustus 2019   13:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Meskipun sudah lama diterbitkan, Norwegian Wood karya Haruki Murakami masih relevan untuk dibaca di tahun 2019. Novel tersebut pertama kali terbit di Jepang pada 1987 kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia pada 2005 silam. Bagi saya, ini kali kedua membaca karya Murakami setelah 1Q84 yang memikat minat saya untuk membaca karya Murakami lainnya.

Sekilas ketika melihat judulnya, yang terpikir dalam benak saya kala itu adalah setting latar yang akan melibatkan hutan. Tetapi hal itu nihil besar, Norwegian Wood merupakan judul lagu milik band legendaris, The Beatles dan lagu itu menjadi favorit salah satu tokoh dalam kisahnya.

Seperti biasa ketika membaca karya Murakami tentu kita akan dibawa masuk menyelami cerita secara halus melalui penjabaran cerita yang jujur. Tentu itu kesan pertama yang mudah ditangkap lewat dialog antar tokoh dan karakter yang menyertainya. Norwegian Wood berkisah kehidupan pemuda dan dunianya.

Watanabe sebagai tokoh sentral adalah seorang mahasiswa yang dalam kesehariannya ia hanya mengikuti arus. Kehidupannya cenderung suram hingga datanglah Kizuki dan Naoko yang kemudian menjadi 'penyeimbang' bagi Watanabe menjalani hari-harinya. Mereka baik-baik saja sebelum akhirnya Kizuki bunuh diri dan Naoko menjadi orang yang linglung.

Babak baru datang pada Watanabe, lingkar pertemanannya pun semakin bertambah. Manusia dengan beragam karakter hadir untuk mewarnai perjalanan Norwegian Wood. Murakami cukup cerdas untuk meracik porsi karakter dari masing-masing tokohnya. Setiap tokoh memiliki keunikan penokohan tersendiri.

Sebut saja Nagasawa-san, dalam realitas ia bisa dikatakan sosok perfect bad boy. Tetapi dalam diri Nagsawa-san ia menolak itu semua. Ia tidak menyukai orang-orang yang menyukai segala kebaikan yang ia berikan. Sehingga Nagasawa-san tidak memiliki teman. Hanya Watanabe yang tidak memandang Nagasawa-san sebagai sosok yang patut dielu-elukan. Namun justru sifat seperti itulah yang diinginkan Nagasawa-san untuk dijadikan temannya.

Rumit memang, tapi menarik. Porsi karakter yang demikian tidak berhenti pada Nagasawa-san saja. Seiring berjalannya cerita kita akan menemui hal-hal yang tidak terduga lainnya. Penokohan tersebut sesuai dengan narasi yang dibawa oleh Murakami dalam novelnya ini, tentang pemuda dan life crisis

Tentu kita tidak asing lagi dengan quarter life crisis yakni kondisi dimana seseorang  memasuki fase mulai memikirkan segala hal tentang hidupnya saat ini dan yang akan datang. Terjadi ketika seseorang telah memasuki umur 25.

Banyak persoalan ketika memasuki life crisis. Mulai dari cinta, pertemanan, karir, keluarga. Sama seperti Watanabe dan teman-temannya. Meskipun mereka terlihat menikmati hidup pada kenyataannya banyak hal yang mereka pikirkan.

Murakami menggambarkan bagaimana kehidupan pemuda itu umumnya terjadi. Seperti  mahasiswa yang bersikap kritis tapi tidak bernyali, pemuda yang dekat dengan kebutuhan seks, alkohol yang sudah menjadi teman sehari-hari, dan kondisi psikis yang mudah terguncang karena berbagai kemelut masalah hidupnya.

Watanabe pun demikian, ia tidak memiliki tujuan pasti untuk hidupnya. Bagi Watanabe segala yang terjadi di hidupnya tidak lebih dari sekedar nasib. Teman sekamarnya yang tiba-tiba menghilang, Naoko yang bunuh diri, dan Midori yang menginginkan Watanabe.  Semua dikisahkan secara rapi dan apa adanya oleh Murakami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline