Lihat ke Halaman Asli

Ulfa Khairina

Freelancer

Sebungkus Nasi Gurih di Musim Corona

Diperbarui: 26 Maret 2020   16:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di awal Maret, hampir semua stasiun TV di Indonesia mengumumkan berita yang sama. Dua orang pasien positif Corona di Jakarta. Hari-hari berikutnya berlanjut dengan berita yang sama, penambahan angka Orang Dalam Pengawasan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) serta angka-angka positif Corona. Angka yang ditunjukkan berganda, meningkat drastis dalam beberapa hari. Bahkan Indonesia mendapat 'juara' meninggalkan negara pertama yang menjadi pionir virus ini, China.

Beberapa hari saat masyarakat Aceh hanya menonton di TV tentang dahsyatnya perkembangan virus ini, saya sudah berada di rumah sakit. Di sana pula sumber informasi tentang virus yang namanya diperkeren enjadi Corona Virus Desease Nineteen (Covid-19) ini bermula. Termasuk mendengar adanya pasien pertama di Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh.

Belum ada perintah lockdown. Perawat di rumah sakit pun masih berkeliaran mengecek pasien tanpa masker dan latex. Saat itu saya geram. Apalagi selama beberapa hari kamu tinggal di kamar VIP yang bisa dikatakan cukup steril dibandingkan dengan kamar lain. Alih-alih merawat dan menunggui orang sakit, saya merasa seperti sedang staycation. Liburan di sebuah hotel dan menghabiskan waktu hanya menenangkan diri.

Staycation para pelancong menempatkan diri di hotel bintang tiga sampai lima dengan memanfaatkan fasilitas yang ada. Tidak ada bedanya berada di kamar rumah sakit ini, kami pun menikmati fasilitas yang mumpu'i meskipun tidak semewah hotel. 

Setidaknya kami bisa menonton TV One dan konferensi pers yang dijurubicarai oleh Achmad Yurianto tentang Covid-19. Ada sebuah sofa berwarna orens yang nyaman buat rebahan dalam segala suasana. Kamar mandi yang luas lengkap air panas dingin. Ada satu unit kulkas merek Sharp satu pintu dengan motif bunga sakura di pintunya. Wastafel berfungsi dengan baik.

Tidak hanya itu, para distributor makanan datang empat kali sehari. Dua kali mengantarkan makanan ringan pada jam sepuluh dan jam tiga sore. Dua kali mengantarkan nasi untuk pasien, pukul tujuh pagi, 12 siang, dan pukul enam sore. Mereka ramah dan sangat koperatif.

Perawat selalu datang mengecek tepat waktu meskipun sebagian besar tanpa senyul dan tidak menunjukkan keramahan. Pekerjaan mereka yang terlalu lelah dan penuh tekanan membuat susah menarik garis senyum.

Kami berada di ruang VIP selama 11 hari. Usai operasi suami saya, kami ditranfer ke ruang kelas dua, harusnya kami berada di kelas satu, bukan VIP atau kelas dua. Status kami di VIP hznya titipan. Di ruang yang baru pun titipan. Ruang yang seharusnya kami tempati penuh.

Beda kelas, beda pelayanan. Inilah yang saya rasakan. Mulai dari sikap perawat sampai makanan. Beberapa kali saya mengomel sendiri. Namun, semua omelan itu berubah menjadi intropeksi karena suatu pagi.

Seperti biasa, saya tidak bisa makan menu di rumah sakit. Sekalipun disajikan sangat elegan dan enak. Saya tidak bisa menyentuhnya. Meskipun makan di kamar, saya akan lelbeli makanan di luar rumah sakit. Baik menitip pada siapa saja keluarga yang datang sampai memesan melalui grab food.

Minggu pagi saya turun ke kantin rumah sakit sangat cepat. Sebelum jam tujuh. Belum ada gerai yang buka. Akhirnya saya keluar eumah sakit, mencari nasi gurih enak. Sekalipun pasien yang sedang saya jaga tidak ada yang menemani. Saya tinggalkan ponsel, lalu saya pergi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline