Lihat ke Halaman Asli

Ulfa Khairina

Freelancer

Perjalanan Lintas Kenangan

Diperbarui: 18 September 2015   10:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kemana kita?” suara paman saya memecahkan suasana gosip yang terjadi di antara saya dan sepupu-sepupu. Mereka lebih mudah dari saya beberapa tahun. Kami sedang membicarakan fakta dan mitos yang beredar di instagram. Sepupu saya paling kecil sangat menyukai cerita hantu dan sejenis mitos. Kebetulan media baru yang beredar di Indonesia memfasilitasi ketertarikannya pada cerita jenis ini.

Hari itu lebara hari pertama. Ketika paman sekeluarga bersilaturahmi ke rumah, saya ikut nebeng ke rumah beliau. Sejak ayah saya meninggal sekitar setahun setengah silam, saya hijrah ke China untuk melanjutkan studi. Saya jarang pulang dan ketika di rumah, waktu yang berjala sudah terpakai untuk menulis, membaca atau menggambar.

Hari itu bisa dikatakan pertama kali pada tahun ini saya keluar jauh dari rumah. Melagkah jauh untuk melihat dunia luar. Perjalanan dari Jalan Lintang ke arah barat sangat menakjubkan.

Melewati kota Takengon da kawasan Tansaril pemandangan alam nan indah mulai memyejukkan mata. Sungai yang mengalir dipit oleh persawahan yang berteras mengingatkan saya pada kartu pos yang dibagi-bagi oleh teman saya ketika kembali dari provinsi Yunnan, China. Bedanya teman saya membagikan kartu pos dengan suasana musim dingin, sehingga teras-teras bertingkat itu diselimuti es. Sementara apa yang terhampar di depan mata saya adalah permadi hijau bertingkat dengan pantulan keemasan.

Rasanya bertahun-tahun saya tidak melihat undakan bukit-bukit hijau dengan pinus tertancap di atas kue tart ulang tahun. Langit biru bersih tanpa awan. Pemandangan yang langka sekali di kota-kota. Aroma rumput-rumput liar masih tercium meski asap dari knalpot kendaraan bermotor memenuhi jalanan yang mulai macet.

Hari itu adalah hari istimewa bagi ummat muslim di Indonesia. Saya menyebutnya macet istimewa. Kondisi jalanan yang tak bisa disebut baik itu macet karena orang-orang berkendaraan memadati jala untuk berkunjung ke rumah sanak famili, bermaaf-maafan di hari yang fitri. Lihat, betapa istimewanya macetnya hari itu.

Sepupu saya mempunyai bakat menjadi reporter televisi. Ia terus mengoceh sepanjang jalan mengomentari apa yang dilihat. Bukit yang menghijau, aliran sungai, persawahan, bahkan kambing yang terlihat menjadi bahan ocehannya. Cara ia berkomentar mengocok perut. Terkadang saya sampai terpesona dengan gayanya, toba-tiba ia mengubahnya menjadi seperti lawak stand up comedy.

Sementara sepupu saya yang laki-laki, dduk di jok paling belakang mulai mengontrol diri agar tidak muntah. Sesekali ia bicara, “Sudah terbayang apa yang akan ditulis?”

Jujur.

Saat itu yang terpikir di dalam kepala saya hanya berhenti sejenak, keluar dari mobil dan memtret. Selfie dengan latar pemandangan indah ini, ;a;u posting di wechat. Wechat merupakan salah satu aplikasi media baru yang dipopulerkan di China. Bahkan orang-orang di negeri tirai bambu tdak memakai aplikasi lain, hanya wechat dan QQ dan ebberapa nama yang cukup asing bagi masyarakat um dunia.

Teman-teman saya di wechat memang kebanyakan orang asing, bukan orang China. Tapi dengan adanya postingan seperti ini akan memperkenalkan pada dunia betapa bagusnya pemandanga alam Indonesa. Belum terjamah modernitas yang diadaptasi dari gaya kota maju.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline