Lihat ke Halaman Asli

Monolog Sunyi

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mampukah kita berdamai dengan sunyi?

***

Langit telah bertukar warna. Gulungan awan berkejaran. Matahari berjingkat pelan-pelan. Anak-anak berseragam putih merah berjalan bergerombol. Tawa riang mereka meramaikan pagi yang baru membuka mata. Begitu damai rasanya menikmati suasana ini, hingga mataku tak pernah mengenal kata jemu untuk menatapi segala laku yang terus berulang saban pagi.

Matahari kini melangkah sedepa, semakin tinggi. Sinarnya perlahan menyentuh dinding rumah, melebar hingga memeluk separuh tubuhku. Tubuh ringkih yang telah memasuki dasawarsa ke enam.Sayang hangatnya tak mampu menghapus sepi yang telah lima tahun menguntitku. Sepi yang begitu setia di kiri kananku, serupa setianya Raqib dan Atid. Sepi yang telah mendirikan kerajaan dalam hatiku.

~*~*~

Pagi mulai menyanyikan nadanya. Kulihat ibu telah melakukan rutinitasnya kala pagi mulai melipat selimut malam, duduk di beranda rumah mengamati segala peristiwa. Kursi rotan yang usianya lebih muda sepuluh tahun dariku begitu setia menahan berat tubuhnya.

Sejak ayah meninggal lima tahun lalu, ibu tak pernah absen sehari pun menikmati pagi di beranda rumah. Mungkin ia menikmati segala kenangannya bersama ayah dahulu, sebab mereka berdua selalu duduk bersama menjemput pagi ditemani sepiring pisang goreng dan kepulan-kepulan uap panas dari gelas berisi kopi dan teh. Pagi adalah monumen kenangan ibu bersama ayah.

~*~*~

Sudah sejam aku duduk di sini. Matahari sudah tiba di lutut langit. Pertanda sebentar lagi aku benar-benar akan berbincang dengan sunyi, sebab waktu seperti ini adalah jadwal anak perempuanku berangkat kerja, meninggalkanku sendiri di rumah ini. Padahal sesungguhnya aku rindu berbincang dengannya. Seperti waktu ia masih kanak-kanak, saat ia belum mampu mengeluarkan sekalimat pun selain kata “mama”. Pada masa itu aku begitu cerewet berbicara dengannya, dan ia pasti akan membalas segala ucapanku dengan bahasanya sendiri. Kini, yang kudengarkan hanya beberapa patah kalimat sebelum ia berangkat kerja, saat makan malam bersama atau menjelang tidur. Aku merasa bagai seseorang yang sedang sekarat menahan lapar dan haus. Telingaku lapar memamah cerita-cerita dari bibir putriku, jemariku haus memeluk tubuhnya yang sering menggelendot manja.

~*~*~

Jarum jam telah menunjukkan angka delapan, sudah waktunya aku berangkat kerja. Makanan untuk makan siang telah kusiapkan untuk ibu. Sementara untuk makan malam, sisa dihangatkan. Segera aku berpamitan pada ibu.

“Bu, Riana berangkat dulu ya.”

“Iya, Nak. Hari ini kamu pulang cepat, kan? Kita makan malam sama-sama.”

“Bu, maafkan Riana. Hari ini Riana lembur. Ibu ga usah nungguin Riana. Ibu makan duluan saja, ya.”

“Ya sudah. Hati-hati ya, Nak.”

“Iya, Bu.”

Kuciumi telapak tangan ibu sebelum melangkahkan kaki meninggalkannya yang masih setia duduk di beranda.

~*~*~

Putriku telah berpamitan setengah jam lalu. Hari ini kembali aku akan menghabiskan hari hingga malam dalam kesendirian. Sudah beberapa hari, bahkan dua minggu kami tidak makan malam bersama. Pekerjaannya benar-benar telah menyita waktu. Tak jarang pintu ruang tamu kudengar berderit saat jarum jam telah bergeser dari angka sebelas. Pertanda ia baru tiba untuk merebahkan badannya, melepas penat yang membelit tubuh mungilnya.

Hari ini sungguh aku berharap bisa duduk berdua dengannya, berbincang sembari menghabiskan makan malam. Hari ini usiaku kembali berulang di hari yang berbeda, di tanggal yang sama, dan aku sungguh berharap orang-orang yang kukasihi ada di dekatku. Sejak suamiku meninggal, hanya Riana satu-satunya yang kumiliki, dan dialah yang sangat kuharapkan menemaniku. Namun aktivitasnya yang padat menggugurkan harapanku itu. Bahkan mungkin ia tak ingat jika hari ini aku, ibunya, sedang menghitung sisa usiaku bersama dia di dunia ini.

~*~*~

Kulajukan mobilku dengan perasaan bersalah. Sudah dua minggu aku membiarkan ibu sendirian sejak pagi hingga malam. Dua minggu ini aku dibebani pekerjaan yang menumpuk, dan lagi-lagi hari ini kuputuskan untuk lembur sambil berharap ini adalah malam lemburku yang terakhir.

Ada yang terasa aneh hari ini. Tak biasanya ibu memintaku pulang cepat untuk menemaninya makan malam. Ada apa? Ingatanku pelan-pelan mengurai pintalannya, tapi tak kutemukan sebuah alasanpun, kecuali jika hari ini adalah akhir pekan.

~*~*~

Minggu-minggu sibuk putriku mulai berlalu. Dia kini tak lagi pulang larut malam. Makan malam pun telah sering kami lakukan berdua. Namun perubahan lain terjadi padanya. Tiap Sabtu dan Minggu ia selalu punya acara sendiri. Meninggalkan rumah kala dhuha dan baru tiba saat makan malam tak lagi hangat di meja. Hanya saja tak tergambar raut lelah di wajahnya, rona bahagialah yang terpancar. Hingga suatu malam ia memelukku manja.

“Ibu..”

“Iya, Nak”

“Aku jatuh cinta.”

Kulihat raut wajahku tergambar di wajahnya, raut saat aku jatuh cinta pada ayahnya. Cahaya bulan tampak dalam binar matanya. Kubelai kepalanya yang kini telah terbaring di pangkuanku.

“Siapakah dia, Nak? Siapa lelaki yang telah berhasil merebut hati anak ibu yang cantik ini?”

“Kawan lama, Bu. Kami baru bertemu lagi tiga bulan yang lalu. Sayangnya ia tinggal di luar kota dan kami hanya bisa bertemu Sabtu dan Minggu.”

“Jadi dia kah yang membuatmu melupakan ibu tiap akhir pekan?”

“Ibu marah? Ibu tidak setuju? Maafkan Riana, Bu.”

“Ah..tidak, Nak. Ibu bahagia mengetahui kau telah menemukan tempat labuhan hatimu. Tadi ibu hanya bercanda.”

“Ah..ibu..”

“Berbahagialah, Nak. Nikmati keindahan cinta yang kau rasa kini, maknai dengan benar. Sebab cinta tak hanya menyajikan keindahan semata. Kau harus ingat itu, sayang.”

“Iya, Bu. Terima kasih. Riana sungguh bahagia. Riana sayang ibu.” Pelukan putriku begitu erat. Aku bisa merasakan limpahan rasa sayang dan syukur mengalir dalam pembuluhnya. Kupeluk ia. Lama sudah kunantikan masa seperti ini. Kami saling berpelukan, mempertukarkan rasa kasih kami yang sahaja. Meskipun aku tahu, pelukan ini takkan lama lagi kurasakan.

~*~*~

Aku bahagia! Ya aku bahagia! Aku merasa telah menemukan kepingan hatiku. Aku ibarat tulang rusuk yang telah menemukan jantung yang akan kulindungi. Telah kutemukan jemari yang akan menggenggam dan mengisi kekosongan jemariku. Berlebihan? Mungkin saja bagi sebagian orang ini berlebihan. Tapi tidak buatku. Sungguh baru kali ini aku merasakan yang demikian. Seolah berjuta kunang-kunang menari di dalam perutku, sensasi yang kurasa begitu membuai. Dan semua ini karena dia. Lelaki hitam manis jangkung dengan tubuh yang jauh dari kesan macho. Ia tak memiliki pandangan mata setajam elang, namun dalam bola matanya kutemukan kesejukan dua perigi.Kedua lengannya tak sekekar para atlet, tapi di bahunya kutemukan sandaran yang kokoh. Di dadanya kurasakan degup-degup yang menular ke empat ruang jantungku. Tungku hangat hatinya menghangatkan lobus-lobus hatiku. Semua tentangnya telah menjadi stimulus utama bagi neuron sensorikku. I’m in love!!.

Malam ini kuceritakan semua rasa itu pada ibu. Memeluk ibu manja, merebahkan kepala di pangkuannya, menceritakan perasaanku, semuanya membuatku nyaman ada di peluk ibu. Ibu mendengarkan semuanya dengan penuh perhatian, bahkan kami saling berpelukan lama sekali. Pelukan yang begitu menenangkan. Ibu, aku sangat menyayangimu.

~*~*~

Laki-laki itu akhirnya datang meminang putriku. Memintanya untuk menjadi pendamping hidupnya. Ijab qabul pun digelar di rumah kami. Putriku tak lagi menjadi milikku seutuhnya. Ia telah memiliki kewajiban lain, mengabdikan dirinya pada lelaki yang telah mempersuntingnya.

Kejora tak pernah padam dari dua bola mata Riana usai pernikahannya, sementara mataku pelan-pelan telah tertutupi selaput putih yang mengaburkan pandangan. Wajah manisnya tak lagi sempurna ditangkap akomodasi lensa mataku. Lalu hari ini, air mata turut serta menambah buramnya pendanganku saat putriku mengutarakan niat kepindahannya.

“Ibu, mulai minggu depan Riana akan tinggal bersama mas Damar. Apalagi Riana dipindahkan ke kantor cabang di kota tempat tinggal mas Damar, Bu.”

“……”

“Ibu mau ikut bersama kami?”

“…”

“Bu?”

“Hhh…Ibu tidak bisa meninggalkan rumah ini, Nak. Di rumah ini banyak kenangan antara ibu dan ayahmu. Mengikuti suami itu kewajiban seorang istri, maka ikutilah suamimu. Sementara suami ibu, ayahmu, adanya di sini.”

“Ibu, ayah sudah lama meninggal. Dia tak lagi ada di rumah ini, Bu.”

“Tapi makamnya dekat dari rumah kita ini. Kalau ibu kangen dia, ibu bisa menjenguknya. Kalau ibu ikut kalian, belum tentu sebulan sekali ibu bisa ke sini. Pergilah, Nak. Ikutlah bersama suamimu.”

“Benar Ibu tak mau ikut bersama kami?”

Aku mengangguk.

“Kalau begitu, Riana akan mencari pembantu untuk menemani ibu di sini. Dan dua pekan sekali Riana akan berkunjung ke sini. Riana baru akan pindah setelah ibu punya teman di sini.”

“Yang baik menurutmu, ibu nurut, Nak.”

“Ibu……”

Kulihat embun jatuh di sudut mata putriku. Sementara bah telah menjelma di dua mataku yang menua. Sebentar lagi bayangan anakku hanya akan kujumpai dua pekan sekali. Kesunyian apakah yang paling mencekam bagi seorang ibu selain jauh dari buah hati tercinta?

~*~*~

Berat rasanya melangkahkan kaki meninggalkan rumah ini. Rumah yang telah menjadi atap buatku selama dua puluh sembilan tahun. Rumah yang dinding, tiang, jendela, pintu dan terasnya telah menjadi kanvas atas segala peristiwa hidupku. Rumah yang kini hanya akan didiami oleh ibuku bersama seorang pembantu.

“Ibu, Riana pamit, ya.”

“Iya, Nak.”

“Ibu baik-baik, ya. Makan jangan telat. Jaga kesehatan. Jangan ngerjain macam-macam. Biar mbok Yum yang ngurusin semuanya.”

“…”

“Bu…”

“Sudah, Nak. Jangan bikin ibu tambah sedih. Dua minggu lagi kamu akan mengunjungi ibu, kan?”

“Iya, Bu. Riana janji dua minggu lagi Riana ke sini. Riana pamit, Bu.”

“Hati-hati, Nak.”

Kuciumi telapak tangan ibu yang mengeriput. Kedua pipinya yang telah tirus. Lalu kupeluk erat tubuhnya. Ibu kemudian mencium keningku, dan bisa kurasakan lembut gerak bibirnya merapalkan do’a buatku. Menit berikutnya mobilku telah melaju meninggalkan ibu yang duduk di atas kursi rotannya. Meninggalkan rahim yang telah kudiami selama sembilan bulan sebelum aku menghirup wangi dunia.

~*~*~

Sejak kepindahan Riana, kesunyian rumah ini tak jauh beda dengan makam. Meskipun ada mbok Yum, tetap saja sepi memagut jiwaku. Apalagi Riana mulai jarang berkunjung. Awal-awal kepindahannya, dia masih rutin ke rumah ini sesuai janjinya dahulu. Namun saat ini, bulan ke delapan kepindahannya, sudah satu bulan setengah ia tak bertandang. Kerinduanku yang menggunung mulai menikam ulu hatiku. Aku rindu memeluk buah hatiku. Aku rindu memeluknya di sisa usiaku yang kurasakan takkan lama lagi.

~*~*~

Handphoneku berdering berulang kali, membuyarkan perhatianku dalam presentasi pagi ini. Kulirik nomor yang berkedip di layar, nomor rumah. Perlahan perasaan tidak enak menyerangku. Setelah meminta ijin pada pimpinan, kutinggalkan ruang rapat.

“Halo…Non Riana…Ibu, Non..”

Nada cemas terdengar dari suara mbok Yum.

“Ibu kenapa, mbok?”

“Ibu…ibu jatuh di kamar mandi, Non.”

“Hah..? Sekarang gimana keadaan ibu?”

“Belum sadar, Non.”

“Minta bantuan tetangga bawa ibu ke rumah sakit. Sekarang saya ke sana.”

“Iya..iya, Non.”

Otot-ototkurasanyalemas mendengar kabar dari mbok Yum. Perasaan bersalah menjelma godam yang ditabuh berkali-kali dalam dadaku.Usai menitipkan pesan pada teman sekantorku, kutinggalkan kantor dan segera kukemudikan mobilku menuju tempat ibu. Sebuah pesan singkat kukirimkan pada suamiku.

Tiga jam perjalanan yang kutempuh serasa begitu lama. Ingin rasanya memiliki sayap di dua punggungku dan tiba saat ini juga di hadapan ibu. Namun sungguh itu di luar kuasaku, hingga yang kubisa hanya terus menyetir dengan air mata yang terus mengalir beriring debaran jantung yang ritmenya tak teratur.

Tiba di kamar tempat ibu dirawat, kulihat mbok Yum telah berdiri di sana dengan mata sembab. Kuhampiri pembaringan ibu, menggenggam jemarinya, menciumi keningnya, sementara kelenjar air mataku belum berhenti mengalirkan butiran bening yang membasahi pipi ibu. Pelan-pelan mata ibu membuka.

“Ibu, maafkan Riana, Bu... Riana jarang menjenguk ibu kemarin-kemarin.”

“……”

“Ibu…Riana ga akan ninggalin ibu lagi. Ibu harus sehat ya, Bu”

Pelan-pelan senyum tersungging di bibir tua ibu.

“Kamu datang, Nak.”

“Iya, Bu… Riana datang, datang untuk menemani ibu.”

“Ahh…ibu kangen…”

“Iya, Bu…Riana juga kangen sama ibu.”

Kupererat genggamanku di jemari ibu. Namun ibu tak lagi mampu menggenggam jemariku. Beberapa menit kemudian ibu tertidur.

Seminggu ibu di rumah sakit, tubuhnya kian hari kian melemah. Bahkan dua hari terakhir ia dinyatakan koma. Hingga tiba hari dimana aku harus kehilangan ibu. Sebelum ibu koma, ibu sempat bercerita jika dia bermimpi dijemput oleh ayah. Dan hari itu betul-betul tiba. Ibu meninggalkanku untuk berkumpul lagi bersama pujaan hatinya. Sementara dalam hatiku tersisa penyesalan yang besar. Penyesalan karena tak mampuberbakti padanya lebih lama lagi. Penyesalan karena tak mampu menghabiskan lebih banyak waktu dengannya di ujung usianya. Penyesalan karena tak ada di sisinya saat ibu menahan rindu yang sangat. Melepasnya dengan ikhlas, senantiasa mendoakannya, itulah bakti yang mampu kulakukan buatnya kini.

~*~*~

Tahun berganti, rotasi bumi tak dapat dihindari. Kini aku, Riana, duduk sendiri di beranda. Menatapi langit yang melepas perlahan gaunnya yang berwarna jeruk. Di sini aku duduk menanti kepulangan putriku. Sunyi terasa menikam tepat di jantungku.

=============================

>> Tulisan ini untuk melunasi utang pada Bang Udud. Semoga ga jauh melenceng dari harapannya.

>> Image source

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline