Lihat ke Halaman Asli

Paragraf Empat Perempuan

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku seorang pelacur. Kenapa? Kaget?? Jangan kaget karena aku tak membentakmu. Aku memang seorang pelacur. Jalanan bukan tempatku menunggu langganan. Tidak, mereka yang datang kepadaku. Mereka yang mengemis-ngemis untuk memasuki tubuhku. Pelangganku beraneka latar belakang. Tak jarang yang menikmati jengkal kulitku adalah laki -laki yang terlihat santun. Namun kebanyakan mereka adalah suami-suami yang mencari selingan di tengah kebosanan hidupnya. Cibiran-cibiran masyarakat telah kenyang kutelan. Suara-suara sumbang lebih kutanggapi dengan tawa panjang. Ya, kenapa mereka hanya menghujatku? Kenapa mereka hanya menghakimiku. Bukankah suami-suami maupun laki-laki mereka yang mendatangiku? Kalau suami dan laki-laki mereka tak mendatangiku tentu aku pun tak pernah ada. Kenapa mereka tak melarang laki-laki mereka berkeliaran mencariku? Jangan hakimi aku. Karena aku telah menjadi hakim atas diriku. Aku memang pelacur. Aku tak pernah merasa diriku suci. Tidak, diriku jauh dari suci. Aku memang pelacur. Aku berlumur dosa. Tiada layak bagiku mendapat ampunanNya. Namun aku masih punya asa. Asa untuk mencegah anak anakku terjebak di jalan yang sama denganku.

~~~~~~~~~~~

Mataku menatap undangan bersampul hijau lumut di tanganku. Tertera nama yang kukenali beserta tanggal yang sebentar lagi di sebuah tempat yang hanya berjarak setengah jam dari rumahku. Hela nafasku satu-satu berat meninggalkan alveolus. Hari ini akhirnya tiba juga. Hari dimana aku harus mengikhlaskan pernikahan orang yang kusayangi. Orang yang selama ini selalu ada di sampingku pada saat tawa merekah di bibirku atau kala duka menggelayut manja di wajahku. Aku harus ikhlas melihatnya bahagia dengan orang yang telah berhasil memenangkan hatinya. Yah, aku harus ikhlas melihat adik perempuanku satu-satunya menikah mendahuluiku. Sudah lima tahun ia mengalah, menunggu lelaki yang akan mengabarkan kabar gembira di telingaku, lelaki yang akan mempersuntingku. Namun, tak seorang pun yang mengetuk pintu rumahku dan mengajukan lamaran atasku. Dan akhirnya, kuputuskan untuk tidak menjadi penghalang atas kebahagiaanya, atas pahala yang akan diraihnya sebagai seorang perempuan dan istri. Sudah terlalu lama ia bersabar untukku, untuk seorang perempuan berumur 40 tahun dengan wajah rusak bekas kebakaran beberapa tahun silam. Jodohku mungkin bukan di dunia ini, Dik, batinku, lalu melipat undangan berwarna hijau lumut di tanganku.

~~~~~~~~~~~

Hari ini aku kembali terlambat pulang. Bos mengadakan meeting mendadak. Menjelang audit, kesibukan makin menjadi-jadi. Waktuku tersita di kantor. Namun bukan sekali ini, hampir tiap hari waktuku tersita. Ah andai bisa memilih aku ingin menjadi ibu rumah tangga seperti wanita-wanita lain. Aku ingin mencurahkan waktuku untuk putraku tersayang yang kini beranjak remaja. Aku ingin seperti ibu-ibu lain yang bisa selalu memasak makanan kesukaan putranya. Atau setidaknya aku ingin mengambilkan raport untuknya. Ah putraku terlalu sering kutinggalkan. Terlalu kurang perhatianku untuknya. Bahkan tak jarang aku bersikap keras padanya. Terkadang aku memarahinya saat ia ingin bercerita tentang hari-harinya di sekolah. Maafkan aku putraku. Aku bersikap keras padamu agar kau menjadi laki laki yang kuat, laki-laki yang tangguh. Bukan laki laki manja yang hanya menggantungkan kekuatan orang tuanya. Putraku, aku sungguh menyayangimu. Andai kau tahu, aku ingin menjadi ibu sekaligus ayah yang sempurna bagimu. Walau ayahmu tak ada, ingatlah kau masih punya diriku, orangtuamu yang akan mati matian mempertahankan tegaknya atap rumah kita.

~~~~~~~~~~~

Menikahlah dengan seorang lelaki yang mencintaimu, itu pesan ibuku yang masih terngiang hingga detik ini. Kala itu aku sedang dilanda rasa frustasi berlebihan. Lelaki yang telah memacariku selama empat tahun ternyata berselingkuh, menjalin cinta di dunia maya, lalu memutuskan meninggalkanku demi perempuan yang hanya dijumpainya lewat layar komputer. Perih. Semenjak itu, aku tak pernah lagi percaya akan cinta yang terucap dari mulut lelaki. Cinta itu bullshit. Tahun berganti. Kaki-kaki waktu berlari hingga tanpa sadar telah menghempasku pada angka tiga puluh dua. Aku masih belum percaya akan cinta, hingga ibuku mengambil jalan ekstrim. Aku dijodohkannya dengan lelaki yang sekian tahun menumpang di rumah kami. Dia mencintaimu sekian lama, Nak. Dia selalu memperhatikanmu. Dan kali ini dia ingin membuktikan cintanya dengan meminangmu. Ingat ucapan ibu, Nak, lelaki yang betul-betul mencintaimu akan selalu menjaga dirimu dan kehormatanmu, tak pernah membuaimu dengan kata manis hanya untuk keinginan sesaat, dan ia bersabar menanti saat dimana ia akan menjadikanmu pendampingnya. Istikharahlah jika kau ragu. Itulah kalimat-kalimat ibu saat aku berusaha menolak perjodohan itu. Namun rencana Tuhan begitu sempurna, istikharah yang kulakukan menuntunku menuruti keinginan ibu. Ridho Tuhan bergantung pada ridho orang tua, itulah alasan yang paling masuk akal. Pernikahan sederhana antara aku dan lelaki itu pun berlangsung. Dan kini, sungguh aku tak menyesali keputusanku untuk menjadi pendamping seorang lelaki sederhana, seorang lelaki pincang dengan cinta yang begitu besar. Lelaki yang telah menumbuhkan cinta di hatiku, membuatku percaya kembali kepada cinta. Pesanku padamu wahai perempuan, menikahlah dengan lelaki yang mencintaimu, serupa pesan ibu dahulu padaku.

~~~~~~~~~~~

>> Duet lagi dengan Indra… Thanks, Ndra… Maap baru posting…

>> Image source

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline