Hari guru telah berlalu. Meme dan ucapan tentang guru sudah beredar menghiasi media sosial, surat kabar dan layar kaca. Banyak yang memberikan selamat, ada yang mengkritik, ada pula yang menuntut hak-hak guru. Memang, profesi menjadi guru atau tenaga pendidik masih menyiratkan banyak masalah dan ironi. Berbagai sudut pandang mewarnai arah pendidikan di Indonesia yang tak kunjung bersinar di kancah dunia.
Dari segi profesi, guru masih dianggap seperti "buruh" yang cukup dihargai seadanya. Masih banyak ketimpangan antara guru di kota, di pelosok, di sekolah swasta, maupun di sekolah negeri. Dari segi kuantitas dan kualitas, ada ironi dan masalah yang berbeda di setiap sekolah-sekolah di daerah dan kota besar. Bahkan, semakin hari di era globalisasi, semakin banyak "guru ex-pat" , atau guru asing yang kualitasnya lebih mumpuni ketimbang guru lokal yang biasa-biasa saja. Ini adalah tantangan untuk semua guru di negeri sendiri. Namun, dengan peliknya masalah yang dihadapi guru, seharusnya tak menyurutkan semangat untuk menjadi guru potensial di zaman milenial ini. Zaman sudah berubah dengan cepat. Apabila kualitas guru masih biasa-biasa saja, maka "output" nya pun akan biasa-biasa saja. Sebaliknya, apabila potensi guru dimaksimalkan "input"nya, maka "output"nya akan "extraordinary" (luar biasa).
Guru di masa sebelum dan masa Orde Lama, akan berbeda dengan guru di masa Orde Baru. Guru di masa Orde Baru, akan berbeda di masa Reformasi. Dan guru di masa Reformasi, tentunya akan berbeda dengan guru di masa Milenial saat ini. Ingat, zaman berubah dengan cepat! Guru yang tidak mampu beradaptasi, akan menjadi guru yang "mati". Guru yang tidak melek teknologi, akan menjadi guru "konvensional" yang akan segera ditinggalkan. Mereka yang berprofesi guru saat ini hanya memiliki satu pilihan, berkembang atau "mati" (survive or die). Padahal yang dimaksud melek teknologi tidak harus ahli, cukup paham, mengerti dan mampu mengaplikasi sudah lebih dari cukup.
Menjadi guru potensial memang sudah menjadi kewajiban di era Milenial. Potensial yang dimaksud bukan hanya ahli dalam bidang mata pelajarannya saja, tapi ahli dalam berbagai bidang lain. Kalau hanya ahli dalam satu bidang yang dikuasainya saja (mengajar bidangnya saja), maka guru tersebut masih tergolong guru biasa saja, belum guru "extraordinary". Lantas, bagaimanakah guru potensial di era milenial yang dimaksud? Berikut tips menjadi guru potensial:
1.Guru Ibarat Burung Elang
Anda pasti paham sosok burung elang. Sayap lebar, mata tajam, paruh kokoh, dan cengkraman cakar kaki yang kuat. Ini analogi yang seharusnya ada di tiap guru masa kini. Ibarat elang yang ingin terbang tinggi, guru harus mampu melebarkan "sayap" di bidangnya masing-masing. Tidak hanya terpaku di satu buku, namun memperbanyak literasi di berbagai sumber dan referensi lain. Melakukan "research" atau penelitian, studi kasus, mencari pembenaran, atau bahkan melihat dari sisi lain. Ingat, di dunia ini ada hitam dan ada putih, ada pro dan kontra, ada sisi "kiri" dan ada sisi "kanan". Guru yang baik, harus bisa memahami semua sisi tersebut. Bila anda mengajar Matematika, ada banyak rumus hitung. Bahkan ada rumus hitung yang wajar, ada pula cara hitung cepat yang tidak wajar. Bila anda mengajar Sejarah Indonesia, ada saatnya menjelaskan sisi kelam sejarah kemerdekaan RI, dan sisi baiknya. Atau bila anda mengajar Kewarganegaraan, ada saatnya anda mampu menjelaskan sisi Komunisme dan sisi Demokrasi.
Guru harus memiliki mata yang jeli, materi mana yang layak diajarkan, meskipun ada yang "tabu" namun apabila disertai penjelasan yang bisa dipahami dengan baik oleh peserta didik milenial, maka "ketabuan" tersebut akan menjadi informasi dan literasi yang membuka jalan pikiran mereka. Penjelasan dan penyampaian gaya ajar yang berkualitas dari guru ibarat paruh elang yang kokoh mengajarkan idealisme. Atau setidaknya mengajarkan ke peserta didik, cara beridealisme yang baik. Ingat, generasi milenial butuh pemikiran yang idealis. Hanya orang-orang idealis yang mampu bertahan dari gempuran koruptism. Guru kokoh, menghasilkan murid yang kokoh pula (kokoh = jujur, integritas, idealis, berdaya saing, memiliki tujuan).
Dan yang terakhir, guru harus memiliki cengkraman kuat, tidak hanya untuk dirinya, namun untuk anak didiknya. Dalam artian, guru potensial baiknya mampu memahami potensial anak didiknya. Mereka yang memiliki potensi bagus dalam bidangnya, dicengkeram, agar ia semakin ahli. Bila ada yang belum terasah potensinya, latih terus menerus, sampai tajam. Bila sudah dirasa mampu, biarkan mereka terbang sendiri. Ibarat elang mencengkeram mangsa, artinya ada tujuan yang pasti di masa depan. Mau dibawa kemana anak-anak didik ini dibawa, harus jelas. Jangan biarkan mereka digantung begitu saja. Semua tergantung anda ingin menjadi guru kualitas burung elang atau menjadi guru kualitas anak ayam yang kehilangan induknya.
2.Guru Itu Psikolog
Anda paham pekerjaan seorang psikolog? Nah, menurut saya, seorang psikolog belum tentu guru. Namun, pada dasarnya semua guru, adalah psikolog. Alasan mendasarnya adalah setiap guru dalam profesinya setiap hari berhadapan dengan tingkah laku atau perilaku peserta didik. Seorang guru potensial, harus mampu memahami perilaku setiap peserta didik yang diajarnya. Bila tidak mampu, anda belum menjadi guru potensial. Hanya guru biasa, mengajar karena ada gelar. Biasanya hal yang paling sulit justru bukanlah mengajar, namun memahami perilaku anak didik yang berbeda-beda, bahkan berubah-ubah.
Inilah mengapa di tiap-tiap perusahaan besar di departemen "human resources" mereka selalu memiliki seorang psikolog untuk memahami perilaku pegawai mereka. Bahkan tes kejiwaan pun diterapkan sebagai dasar penerimaan pegawai baru. Karena, berurusan dengan kejiwaan dan perilaku manusia lebih berat dan mempengaruhi kinerja perusahaan di masa mendatang.