Di era global ini sedang terjadi proses "penyesuaian diri" pada kehidupan masyarakat luas dalam kaitannya dengan upaya menghadapi masa depan. Masyarakat (Jawa) yang telah memiliki budaya tinggi dan menjadi sumber bagi upaya menghadapi hidup tempo dulu (konvensional), kini mulai mengalami perubahan dengan masuknya budaya modern (online).
Tantangannya bagi generasi milenial saat ini adalah memadukan nilai-nilai kearifan zaman dahulu ditengah arus modernitas sosio-kultural. Perkembangan teknologi dan media sosial adalah tangga menuju masa depan yang lebih arif dan bijaksana. Namun, "penyesuaian diri" ini ternyata jauh lebih berat dan bebas.
Intinya menurut saya, nilai-nilai kearifan budaya lokal vs kebebasan berekspresi dalam media sosial, perlu lebih diperhatikan.
Apabila anda orang (Jawa), atau memahami kultur masyarakat Jawa, maka setidaknya pernah mendengar nilai kearifan budaya Jawa seperti; becik ketitik ala ketara, jer basuki mawa bea, mikul dhuwur mendem jero, dsb. Itu adalah beberapa contoh nilai kearifan masyarakat Jawa yang ditanamkan sejak dini dan harus dipahami makna dan implementasinya.
Zaman sekarang, banyak orang Jawa (tidak menggeneralisasi semua) mulai melupakan, melanggar bahkan enggan belajar nilai-nilai tersebut. Terutama implementasinya dalam media sosial (facebook, whatsapp, line, twitter, instagram dan lain-lain). Padahal fungsi media sosial itu sama, hidup bermasyarakat di kehidupan nyata dan dunia maya adalah bersosialisasi. Tapi sekarang bukannya bersosialisasi yang positif, melainkan komentar-komentar pedas yang tak sesuai nilai-nilai masyarakat Jawa.
Berikut beberapa contoh nilai-nilai kearifan budaya Jawa yang terkadang diabaikan masyarakat media sosial atau warganet bahasa kerennya (netizen):
Ajining Dhiri Ana Lathi, Ajining Raga Ana Busana
Masyarakat Jawa sangat menekankan pentingnya etika atau sopan santun dalam pergaulan. Baik penampilan perilaku berupa kata-kata atau ucapan (lathi), dan tampilan fisik berupa pakaian yang dikenakannya (busana). Intinya secara harfiah harga diri terletak pada ucapan dan harga badan pada pakaiannya.
"Ajining dhiri ana lathi"
Di media sosial menjaga ucapan sebaiknya tidak asal bicara. Orang Jawa memiliki ajaran bila mengatakan sesuatu hendaknya didasari alasan atau dasar yang kuat dan akurat. Seperti ungkapan "omongan nganggo waton, aja waton ngomong" (bicaralah dengan dasar, jangan asal bicara). Juga, masyarakat perlu menghindakan diri dari omongan "mencla-mencle" (plin-plan), karena akan mengurangi harga diri sendiri.
Orang yang "esuk dhele sore tempe" (pagi kedelai sore tempe) atau "lunyu ilate" (licin lidahnya) pasti kehilangan harga dirinya sendiri. Apalagi seorang pemimpin yang memiliki amanah oleh rakyat.
Sedangkan, "ajining raga ana busana", memiliki makna bahwa generasi milenial dianjurkan untuk hidup "samadya" (sedang-sedang saja, sewajarnya) tidak berlebihan. Harus sesuai dengan posisi dan kondisi, pendek kata harus mengetahui "empan papan" (situasi dan tempat). Dan bukan tidak asal berpakaian atau "waton bisa tuku" (asal mampu beli).
Ironisnya di media sosial sering kali kaum perempuan "keliru" atau "ora trep" (tidak tepat) dalam berbusana, yang tujuannya hanya mengharapkan "like & comment" dari penggemar atau orang lain. Padahal, pakaian yang tidak pantas akan menimbulkan penilaian negatif pada si pemakai yang dapat mengurangi harga diri atau kehormatan si pemakai.