[caption caption="sumber gambar: www.dayasriolm.top"][/caption]“Kau akan dikeluarkan dari sekolah itu, Ri?” Perempuan hampir setengah abad itu bingung bukan main, anak semata wayangnya tak mau sekolah. Sejak menikah dengan lelaki bermata sipit itu lama rahimnya kosong. 13 tahun usia pernikahannya barulah ia dikaruniai seorang anak. Sayangnya saat anak itu lahir saat itu pula suaminya meninggal tertabrak mobil saat pulang kerja.
“Ari gak mau sekolah di sana Bu, di sana banyak aturan!”
“Terus kamu mau sekolah di mana nak? Sudah berkali-kali kamu pindah sekolah, harta peningglan ayahmu sudah habis terjual untuk mengurus perpindahan sekolahmu. Sekarang ibu sudah tak punya apa-apa lagi, nak.” Tak banyak yang ditinggalkan oleh laki-laki bermata sipit itu, hanya kalung 5 gram, rumah reot, televisi, dan motor bebek tahun 90an. Harta berharganya saat ini hanyalah rumah yang ditempatinya.
“Pokoknya Ari gak mau sekolah di sana!” Anak itu langsung pergi dengan memakai kaos hitam, celana jeans ketat, topi hitam, dan membawa tas hitam. Entah tas itu dapat dari mana, sebab ibunya tak pernah membelikan tas seperti itu.
Suminah bangkit dari kursinya dan menatap ke puntu luar. Pandangannya jauh keluar memperhatikan kepergian anaknya. Pelan-pelan anak itu sudah tak terlihat. Dada perempuan hampir setengah abad itu begitu sesak, nasihat yang ia berikan benar-benar tak didengarkan lagi. Jika anak itu benar-benar jadi pada keputusannya, berarti 3 kali ia mengurus perpindahan sekolah anak itu dalam 3 tahun terakhir.
Hartanya sudah habis, tak tahu harus bagaimana lagi menangani anak semata wayangnya. Pesan Suaminya agar anaknya harus sekolah yang tinggi biar dapat kerja enak. Suaminya memang hanya lulusan SD, sedang Suminah sendiri lulusan SMP. Dalam lamunannya air mata Suminah mengalir deras, dalam hatinya selalu bertanya mengapa ujian hidupnya begitu berat.
Suminah berjalan menuju kamarnya, tiba-tiba ia teringat pesan Pak Kasno, kakak kandung suaminya, “Bila ada kesulitan, jangan sungkan untuk datang ke rumah. Mungkin saya bisa sedikit bantu kesulitanmu.” Suminah segera menuju rumah Pak Kasno.
Lumayan jauh rumah Pak Kasno, dia harus menempuh jarak 2 kilo. Di depan rumah Pak Kasno ada tulisan ketua RW 01. Sejak pensiun Pak Kasno menjabat sebagai ketua RW. Suminah agak ragu untuk mengetuk pintu. “Ketuk saja pintu itu Suminah” terkejut Suminah mendengar suara itu, ternyata Pak Kasno sudah ada di belakangnya.
“Ada apa Suminah, wajahmu tampak sedih? Silahkan duduk!”
Suminah duduk dengan muka merunduk. Ia menceritakan apa yang terjadi pada anaknya. Suminah berharap kakak iparnya dapat membantunya untuk menangani anak itu, sekaligus dapat mewujudkan pesan suaminya.
“Minah, anakmu itu sangat mirip dengan bapaknya.” Pak Kasno mulai bercerita tentang suami Suminah. “Dulu, suamimu itu anak yang paling bandel di keluarga kami. Seperti yang kau tahu, suadara kandung suamimu ada 6, bukan hanya dari segi fisik ia berbeda, tapi dari tingkah lakunya juga. Saat suamimu berusia 7 tahun dia sudah berani mencuri uang kakeknya, habislah ia dipukuli bapaknya. Di usia 13 tahun dia diusir dari rumah, karena ikut tawuran. Suamimu itu pernah duduk di bangku SLTP hanya saja saat kelas 2 SMP dia dikeluarkan dari sekolah karena ikut tawuran. Bahkan suamimu jadi ketuanya. Seminggu ia jadi gelandangan, ibu kami tidak tega dengan suamimu, akhirnya kami sekeluarga mencarinya. Kami kira setelah diusir dia akan sadar dengan kesalahannya ternyata tidak, aku mendapatinya sedang mencuri di toko jam tangan. Dia tak pernah kapok dengan perbuatan jahatnya, Minah. Dan dia juga tak pernah iri dengan melihat saudara kandungnya bergelar sarjana.”