Lihat ke Halaman Asli

Mariatul Kiptia

Writer, Public Speaker, Education Consultant

Cerpen | Kesabaran Seorang Gadis yang Berbuah Manis

Diperbarui: 30 April 2019   18:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

picbon.com

Dua hari setelah kepergian ayah, aku belum keluar dari kamar. Air mataku telah kering, kini aku bukan lagi menangis pilu atas kepergian orang terkasih yang merupakan alasanku tersenyum dan bersemangat selama ini, melainkan merenung memikirkan bagaimana aku akan melanjutkan kehidupanku kedepan. Ya, kehidupan yang kurasa akan sangat berat menjalaninya. Bagaimana tidak? Aku harus menggantikan posisi ayah dalam rumah ini. 

Semua peran, tugas, dan tanggung jawab ayah selama masih hidup. Terkadang sempat terlintas di pikiranku untuk ikut pergi bersama ayah ke alam sana, tapi aku malu dengan usiaku yang sudah dewasa ini jika aku masih dengan egoisnya memikirkan diriku sendiri.

Aku hampir lupa bahwa ada dua orang yang harus diperjuangkan hidupnya oleh aku yang bahkan terkadang belum mampu mengurus diriku sendiri, Mama dan adikku, aku harus ada untuk dan demi mereka, terlebih karena aku adalah anak tertua dalam keluarga kecil ini.

Namaku Ree Sireya, gadis tujuh belas tahun yang saat ini sedang menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas dua belas. Mamaku perempuan yang baik dan cantik, sepertinya adikku lebih mewarisi perihal fisik Mama, ia memiliki wajah yang cantik mirip dengan Mama, memiliki postur tubuh tinggi, namanya Fee Vireya. Fee menempuh pendidikan di SMA yang berbeda dengan sekolahku, usianya selisih dua tahun denganku, saat ini masih kelas sepuluh. Kami hidup bertiga di rumah sederhana milik ayah.

"Ya ampun Ree, ini apa? Mengapa kamu selalu membuat kesalahan yang merugikan keluarga kita? Kemarin kamu hilangkan payung di warung, sekarang kamu pecahkan dua piring sekaligus."

Mama memarahiku di dapur. Pagi ini aku memasak untuk sarapan, entah apa yang terjadi, pagi ini aku pusing sekali, kepalaku terasa berat dan sakit seolah akan pecah. Aku tidak seimbang keika berjalan, sampai akhirnya dua piring yang kubawa terjatuh dan pecah. Tidak sempat aku menjelaskannya, Mama sudah memarahi dan mencibirku.

"Maafkan Ree, Ma. Ree akan segera membersihkan ini." Aku mengambil sapu dan membersihkan serpihan piring di lantai.

"Sudah, tidak perlu! Cepat berikan uang untuk membayar SPP adikmu dan bergegaslah berangkat ke sekolah!". Aku terdiam, hatiku seketika gelisah. Aku menelan ludah dan mulai memikirkan bagaimana aku harus mendapatkan uang untuk kuberikan pada Fee.

Waktu menunjukkan pukul tujuh tepat, tiga puluh menit lagi aku harus sudah berada di sekolah. Hari ini aku ujian tepat pada sesi pertama. Aku semakin tak karuan, keringat dingin bercucuran membasahi seragam putih abu-abu yang terlihat kusut karena belum sempat aku setrika. Jantungku berdebar kencang, ketakutan itu datang. Aku takut Fee akan dipanggil ke BK dan dipermalukan lagi oleh teman-temannya karena sudah sekitar delapan bulan ia tidak membayar SPP, beda satu bulan denganku.

******

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline