Untuk bisa menulis tesis tentu diperlukan data lapangan khususnya dalam kelompok ilmu sosial. Dengan mendapatkan data dari lapangan maka bisa mengetahui apa yang terjadi dengan bantuan analisis berdasar kerangka konseptual dari tinjauan pustaka, dan biasanya ini akan menghasilkan temuan yang baru yang menyumbangkan seuatu pada ‘tubuh pengetahuan’ (body of knowledge). Disamping itu dengan memiliki data lapangan yang valid, maka temuan riset yang ada mempunyai argumentasi yang kuat yang tidak mudah dipatahkan (kalau pun mau dibantah dengan elok, tentu harus dengan riset lapangan tandingan). Bagian ini menjelaskan tahapan pengumpulan data lapangan dan serba-serbinya.
Ada yang sedikit terlupa untuk dijelaskan di bagian sebelumnya yaitu mengenai bantuan yang diperoleh dari Student Learning Support Service (SLSS). Lembaga ini memberikan bantuan bagi mahasiswa VUW dalam berbagai hal yang berhubungan dengan keterampilan belajar (learning skills). Setiap semester secara reguler SLSS memberikan bantuan bagi mahasiswa secara berbeda, ada yang khusus untuk mahasiswa S1 (bagaimana menyiapkan laporan, mencatat kuliah, membuat presentasi), mahasiswa S2 dan S3 yang full riset (menyiapkan proposal, metodologi riset, pengolahan data), ataupun mahasiswa kelompok khusus seperti mahasiswa internsional (khususnya English dalam diskusi dan menulis), maupun mahasiswa penduduk asli Selandia Baru yaitu orang Maori (dukungan sosial dan adaptasi dalam dunia perguruan tinggi). Jasa ketrampilan studi seperti ini belum banyak diberikan di berbagai universitas di Indonesia maupun di Malaysia. Dua jenis jasa yang saya nikmati di SLSS adalah: mengikuti seminar yang diadakan per dua minggu, yang isinya tidak lain penjelasan hal teknis tentang seluk beluk riset disertai berbagi pengalaman antar mahasiswa riset; yang kedua jatah konsultasi satu jam per minggu dengan staf disana untuk membantu memperbaiki kualitas tulisan proposal yang dibuat. Pada awal-awal selalu menggunakan jatah konsultasi tersebut, namun lama-lama mendapati bahwa hasil dari saran perbaikan tulisan English-nya tidak lebih bagus dari yang saya buat, hal ini karena isi proposal yang spesifik dalam bidang tertentu dimana si ‘konsultan’ memang tidak punya latar belakang keilmuan yang sama.
Kembali ke cerita pengumpulan data. Riset saya menganalisis tentang perubahan sistem kebijakan pendidikan yang terjadi di Indonesia dengan adanya otonomi daerah, dan secara khusus meneliti tentang manajemen berbasis sekolah (MBS). Kalau menelaah isu MBS ini seolah tidak begitu jelas seperti apa mahluk ini sebenarnya; karena menelaah dari sisi kebijakan maka sasarannya haruslah regulasi khusus tentang hal itu dan didapati bahwa yang berhubungan erat dengan hal itu adalah kepmen tentang dewan pendidikan (DP) dan komite sekolah (KS). Karena Indonesia begitu besar, luas dan kompleks, tentu diperlukan strategi khusus untuk melihat ini dari skala yang memang bisa dikerjakan, makanya dipilih studi kasus pada satu distrik. Kota Mataram di Nusa Tenggara Barat dipilih karena berada di Indonesia bagian Timur, juga sebagai ibukota provinsi yang menunjukkan dinamika lebih kompleks dan bisa mengindikasikan apa yang terjadi setelah era otonomi yang relatif jauh dari pusat kekuasaan (Jakarta). Unit analisis yang dipilih adalah sekolah menengah atas negeri, dengan alasan pengelolaan SMAN lebih kompleks dan dengan latar belakang staf pengajarnya yang lebih terdidik dan cenderung kritis akan menampilkan potret tersendiri, disamping sekolah publik lah sasaran utama regulasi pemerintah. Urusan ijin dimintakan bantuan pada teman, dan itu bisa diselesaikan sebelum saya datang kesana dari Bappeda setempat.
Data yang dikumpulkan terdiri dari empat hal yaitu: dokumen (APBD, Perda, surat keputusan dan berbagai dokumen yang berhubungan dengan DP dan KS); kuesioner yang terbagi untuk guru, kepala sekolah dan pengurus komite sekolah; wawancara terhadapstakeholders pendidikan (dinas pendidikan, staf pemda, anggota DPRD, kepala sekolah, guru, pengurus komite sekolah, pengurus dewan pendidikan, wakil organisasi guru dan orang tua); terakhir observasi aktivitas di dua sekolah berbeda kecamatan (rapat, suasana sekolah, kegiatan belajar mengajar) dan kegiatan komite sekolah. Setiap jenis data yang dikumpulkan mempunyai tantangan tersendiri dan perlu penanganan berbeda. Waktu tiga bulan tadinya dianggap memadai untuk mendapatkan semua hal itu, namun kondisi di lapangan memang sulit untuk diprediksi. Jadwal kegiatan yang sudah diperhitungkan dengan matang, harus menyerah dengan berbagai perubahan mendadak dan mengalah dengan berbagai kepentingan responden yang dijumpai.
Tahap pertama adalah menemui dinas pendidikan, ini penting karena mereka lah boss baru yang mempunyai kewenangan luas secara tiba-tiba dengan adanya otonomi daerah. Ternyata ijin dari Bappeda tidak ‘bergigi’, menurut mereka untuk bisa masuk ke sekolah harus ada ijin khusus dari mereka, sehingga ijin dari Bappeda adalah rekomendasi saja menurut mereka. Ijin dari dinas lah yang berlaku, baru langkah awal saja terdapat power-game yang harus dipahami. Upaya mencari waktu bertemu dengan kepala dinas ternyata tidak bisa dipastikan; sehingga alternatifnya adalah dengan kepala bagian pendidikan menengah yang menangani SMA, dan seperti atasannya, dia pun tidak bisa memastikan kapan bisa ditemui untuk wawancara. Untungnya proses ijin mudah, sehingga untuk datang ke sekolah sifatnya sudah legal (sambil berharap tidak perlu lagi proses birokrasi ijin di tingkat sekolah).
Sesuai jadwal yang dibuat, minggu pertama adalah menyebarkan kuesioner ke sekolah dan ditargetkan dalam dua minggu sudah terkumpul. Bila sudah terkumpul, maka mudah dilakukan tabulasi dan mengetik pendapat tertulis yang dibuat oleh responden (terdapat beberapa pertanyaan terbuka dimana responden bisa menulis komentar dan pendapatnya) dan dari sana bisa mengetahui trend jawaban dan hal krusial yang perlu ditelaah lebih lanjut dengan wawancara. Untuk memudahkan mobilitas maka perlu menyewa sepeda motor, dan dilakukanlah keliling kota Mataram ke semua SMA negeri yang ada. Semua sekolah yang ditemui menyambut dengan ramah dan terbuka serta membantu sepenuhnya. Kuesioner untuk guru dan kepala sekolah relatif tidak masalah dalam hal penyebaran dan pengumpulannya, cukup minta bantuan kepada kepala sekolah maka semua berjalan sesuai dengan yang diinginkan (menunjukkan pengaruh dan kekuasaan kepala sekolah).
Yang repot adalah penyebaran kuesioner untuk pengurus komite sekolah, berhubung mereka memang tidak stand by di sekolah maka berbagai cara dilakukan. Kebetulan beberapa pengurus KS adalah guru, maka ini relatif mudah; ada beberapa yang orang tua siswa, maka dicoba dititipkan ke anaknya dengan pesan supaya diisi oleh bapak/ibunya dan dikembalikan melalui guru yang saya mintakan bantuan; selain itu pengurus KS yang memang harus didatangi sendiri ke rumah atau tempat kerjanya. Yang terakhir ini sesuatu yang tidak disangka sebelumnya dan memberikan kesulitan akses, juga berdampak tingkat pengembalian kuesioner paling rendah dibanding yang diisi oleh kepala sekolah dan guru. Beberapa responden jelas harus ditemui di rumahnya setelah dikontak dengan SMS atau telepon seluler, dan kadang itu dilakukan lebih dari dua kali; sebagian walau sudah ditemui ternyata lupa untuk mengisi atau kuesionernya hilang entah kemana. Beberapa malah ‘tidak tersentuh’ karena memang tidak pernah ada di rumah karena sibuk berhubung tingginya posisi mereka di instansinya (ada yang komisari bank, ada pimpinan polisi); tentu ini menimbulkan ‘firasat’ bila ditemui saja susah, bagaimana mereka memberikan kontribusi bagi komite sekolah. Satu hal yang nampak, dengan memasang orang-orang penting yang ‘tidak tersentuh’ ini menunjukkan posisi sekolah (kepala sekolah) yang kuat kepada pihak lain.
Berikutnya adalah mengumpulkan dokumen. Inipun menunjukkan keunikan lainnya. Di sekretariat DPRD setempat, setelah melobi dan merayu kiri-kanan supaya mendapatkan dokumen apa saja yang berhubungan dengan isu pendidikan, ternyata hasilnya nol besar. Bisa jadi memang dokumen publik seperti notulen rapat, jadwal hearing dan sejenisnya sifatnya ‘confidential’ sehingga disimpan di tempat yang rahasia dan saat dicari pun tidak bisa ditemukan. Sedangkan di pemda, metode menunjukkan ke orang yang tepat adalah hal yang lumrah yang berujung kepada kembali ke orang semula untuk konfirmasi bahwa yang ditunjukkan tidak bisa menunjukkan yang diinginkan. Pada lain kesempatan malah diberikan akses kepada dokumen yang berjibun, khususnya saat mencari dokumen APBD dan daftar Perda yang telah dibuat, berhubung tidak mau mengganggu pegawai yang waktunya sangat berharga itu, maka difotocopy saja apa yang diberikan; sayangnya pas balik ke tempat kos dan membaca isinya, memang tidak nyambung dengan yang diinginkan. Belakangan, melalui akses informal, yaitu teman yang membantu menguruskan ijin ke Bappeda, karena dia memang staf disana, malah didapatkan apa yang dicari, sangat lengkap dan malah dalam bentuk softcopy. Tentu ini menunjukkan betapa pentingnya informasi dan akses dari orang dalam (tidak hanya untuk riset, suksesnya kerja penyelidikan oleh polisi, penyelidikan kasus korupsi, bahkan membongkar jaringan teroris pun sebenarnya bisa terjadi karena orang dalam; kecanggihan alat tidak selalu utama sebenarnya) . Cerita menggembirakan saat mengumpulkan dokumen di sekolah, komite sekolah dan dewan pendidikan; tidak banyak ‘birokrasi’ harus dihadapi ataupun menggunakan jurus merayu tingkat tinggi, mereka terbuka hampir untuk semuanya kecuali untuk RAPBS. Namun hal terakhir ini pun tidak terlalu sulit untuk didapatkan berhubung terdapat banyak teman guru yang memberikan salinannya, karena yang biasa membuat RAPBS adalah guru dan bukannya pimpinan sekolah.
Dalam hal mengumpulkan data observasi termasuk yang paling lancar dibanding yang lainnya. Dua sekolah yang diminta tidak keberatan untuk disambangi dalam hal rapat, aktivitas di ruang guru, kegiatan mengajar di kelas ataupun untuk diskusi informal. Dalam satu rapat dewan guru di satu sekolah saya malah disangka guru baru; di ruang guru keberadaan saya pun disambut sebagai teman lama dengan hangatnya. Data observasi berguna untuk meneguhkan dan memberikan ilustrasi lebih lengkap tentang apa yang terjadi di lapangan. Di dua sekolah tersebut total masing-masing menghabiskan waktu tiga minggu di satu sekolah dan mencatat apa saja yang terjadi pada saat berkunjung. Hal ini tentu bertujuan untuk melihat konsistensi tentang apa yang terjadi di sekolah sehubungan dengan konteks pertanyaan riset yang dicari; bila sekedar menyempatkan waktu 1-2 hari maka sandiwara untuk menampilkan suasana yang sophisticated bisa dilakukan, namun bila kita menyambangi sampai tiga minggu, maka wajah asli lah yang nampak. Sesuatu yang tidak disangka saat observasi adalah diskusi spontan yang justru mengindikasikan jawaban dari pertanyaan riset yang dicari, baik itu dari mulut kepala sekolah atau guru, dan pada saat itu menghidupkan alat perekam menjadi sesuatu yang terlambat, mengandalkan ingatan untuk menuliskan apa yang dibincangkan kadang tidak puas karena memang harus sifatnya verbatim (saat ini dengan MP4 player atau handphone bisa mengatasinya tentu dilakukan setelah ijin dengan responden). Yang kurang dalam observasi ini adalah mengikuti rapat pengurus komite sekolah, sampai waktu pengumpulan data selesai, tidak satu sekolah pun mengadakan rapat KS (hal ini juga menunjukkan ritme kerja komite sekolah yang disesuaikan dengan kebutuhan sekolah).
Yang terakhir, yaitu wawancara, adalah yang paling banyak menyita waktu dan energi. Di lingkungan sekolah, mewawancarai guru dan kepala sekolah mudah untuk dilakukan, khususnya mereka punya waktu luang sedang tidak mengajar atau tidak menerima tamu. Namun bila dibandingkan mewawancarai pendidik ini di sekolah dengan di rumah atau di tempat lain, maka jawaban yang diberikan sangat berbeda. Di rumah dimana mereka berada di ‘daerah kekuasaannya sendiri’, menjadikan mereka lebih rileks, terbuka dan tidak birokratis; tapi dampaknya adalah banyak hal diceritakan dan kadang ngak nyambung dengan pertanyaan (dan sebagai pewawancara yang baik tidak enak terlalu banyak memotong pembicaraan tuan rumah). Bila di kantor memang dibatasi oleh suasana birokratis (baju seragam, rutinitas dan dipotong oleh urusan yang muncul tiba-tiba). Akhirnya diputuskan sebisa mungkin wawancara di rumah kepada berbagai stakeholderspendidikan ini. Meminta waktu untuk wawancara memerlukan keterampilan negosiasi tersendiri, beberapa menghindar (seperti anggota DPRD), yang lain baru bisa punya akses melalui orang kepercayaannya (staf dinas pendidikan, pengurus dewan pendidikan dan komite sekolah); dan hampir semua bisanya setelah waktu magrib.
Karena wawancara dilaksanakan di dua bulan terakhir saat pengumpulan data, maka berbagai kecenderungan yang didapat dari kuesioner dan observasi menjadi data awal yang berharga untuk didalami dengan metoda ini. Beberapa responden sangat semangat menceritakan apa yang terjadi, sehingga wawancara menyebabkan kaset yang disediakan pun habis (waktu itu masih menggunakan tape recorder analog); banyaknya waktu tersedia juga pernah menyebabkan baterai tape recorder habis, dan perlu meminjam baterai sama responden untuk bisa meneruskan wawancara. Ada pula responden yang menjawab formal dan normatif, namun saat tape dimatikan, munculah jawaban yang ditunggu-tunggu. Secara keseluruhan terdapat dua puluh empat responden yang diwawancara, dan rata-rata menghabiskan waktu satu jam, tugas berat berikutnya adalah mentraskripsikannya, yang sampai saat selesai studi lapang tidak semuanya sempat dilakukan.