Lihat ke Halaman Asli

Ujang Suteja

🚽

"Pribumi" Menjadi Penyelamat Non-Pribumi

Diperbarui: 22 September 2017   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Tulisan

Mei 1998 menjadi sebuah catatan hitam bagi bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa telah terjadi sebuah huru-hara besar yang terjadi di negara ini. Berbagai tindakan anarkis seperti penjarahan, pembakaran, bahkan hingga pemerkosaan terhadap warga negara Indonesia keturunan tionghoa pun secara terang-terangan terjadi dengan begitu kompulsif dan massif dimana-mana tanpa adanya lapisan keamanan yang membentengi anarkisme massa yang memuncak pada 13-15 Mei 1998.

Kerusuhan utama terjadi di Medan, Jakarta, dan Surakarta, target utama dari kerusuhan ini adalah pusat-pusat perbelanjaan dan ruko-ruko pertokoan yang dianggap sebagai milik etnis tionghoa. Semua terlihat seperti dibiarkan saja bak singa-singa yang dilepas oleh kelompok sirkus dari kandangnya dan kemudian dibiarkan membabi buta menerkam dan melahap para penonton pertunjukan tanpa adanya sedikitpun tindakan dari sang pawang singa-singa tersebut, sungguh mencekam dan sangat mengerikan. Sebenarnya informasi tentang kerusuhan pada masa itu telah menyebar dan berbisik di kuping masyarakat luas terutama bagi mereka para pengusaha besar yang gedungnya berlantai-lantai hingga pengusaha kecil yang bertetanggaan di kios-kios pasar ataupun pertokoan pinggir jalan.

Mereka yang setiap pagi dengan perasaan resah selalu mencari kabar terbaru dari aksara-aksara yang berserakan di lembaran-lembaran koran, suara-suara selintas dengar yang mengudara di saluran-saluran radio, atau dari sebuah tabung kotak 14 inch yang ajaib karena mampu menyajikan gambar bergerak sekaligus dengan suara dan tulisan tentang kabar teraktual yang terjadi dibelahan dunia manapun menjadi satu paket penyiaran. 

Tapi tetap, kabar tentang keadaan terbaru bangsanya sendiri lah yang lebih bisa menarik kedua pasang bola mata mereka dibanding berita-berita dengan judul serba-serbi Piala Dunia Perancis yang akan berlangsung satu bulan kemudian, ataupun berita tentang sebuah gempa bumi besar sekitar 7,7 skala richter yang menghantam lokasi penemuan Piramida Yonaguni di Laut Jepang. Entah ide dari siapa dan dari mana, tulisan bernada rasis "Milik Pribumi" seakan menjadi sebuah label penyelamat bagi para pemilik toko di kios-kios pasar dan di pertokoan pinggir jalan pada masa itu. 

Tulisan ini seakan mempunyai aura magis yang sangat besar bahkan dipercaya lebih kuat ketimbang garda barisan terdepan TNI yang berjaga di depan gedung DPR/MPR RI pada waktu itu. Tak perduli pribumi atau pun bukan, cukup bermodal sekaleng pilox dan sedikit kemampuan menulis di rolling door toko dengan kalimat "Milik Pribumi" yang memang bernada rasis itu maka niscaya toko tersebut tidak akan disentuh sedikitpun oleh para penjarah. 

Entah apa juga yang ada di peta benak orang Indonesia pada masa itu, mungkin bagi mereka haram hukumnya jika menjarah, membakar, ataupun memperkosa orang-orang dari kalangan "Pribumi", tapi halal hukumnya jika mereka melakukan semua tindakan anarkisme itu pada manusia-manusia yang non-pribumi. 

Alhasil banyak dari para pemilik toko yang bukan pribumi pun ikut mencorat-coret rolling door tokonya masing-masing dengan tehnik corat-coret yang tidak sebagus hasil tangan Liu Xiaodong yang seringkali menggambarkan tentang unsur-unsur kehidupan yang merakyat pada lukisannya, tapi mereka hanya menulis sebuah tulisan yang dipercaya ampuh dan manjur untuk menangkal tindak anarkisme massa yaitu "Milik Pribumi" dengan tangan bergemetar karena tingkat ketakutan yang tinggi dan detak jantung yang berdetak lebih cepat dari irama beat-drum musik punk. Sebelum pada akhirnya sebagian dari mereka (non-pribumi) memilih untuk meninggalkan ibu kota untuk sementara waktu hingga situasi di ibu kota kondusif kembali.

"Bocor, sebenernya informasinya sudah bocor, sebelum kerusuhan itu kita sudah dikasih tahu. Kacau banget ya waktu itu, saya sama keluarga cari aman saja kita semua tutup toko terus pulang kampung. Pokoknya keluar dulu deh dari Jakarta, baru setelah situasinya normal lagi kita balik lagi", tutur Rudi seorang pemilik toko perhiasan yang sempat merasakan langsung suasana mencekam pada Mei 1998 di ibu kota.

Sungguh fungsional tapi aneh memang, dan jelas ini nyata terjadi pada masa itu. Kata "Milik Pribumi" ini menjadi sebuah pembeda, penanda identitas, meski sama sekali tidak otentik karena siapapun bisa menyemprotkan tinta ke dinding-dinding toko dengan tulisan yang sama yaiitu "Milik Pribumi".

"iya kita cat pintu toko pake tulisan itu (milik pribumi) soalnya kan waktu itu yang diincar itu kan toko-toko, banyak disini waktu itu yang ngecat pintu tokonya karena takut dijarah kan. Dan bener emang kita ga kena jarah cuma kaca-kaca di bagian depan-depan gedung pasar ini pada pecah, ada yang dibakar juga tuh yang dibagian belakang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline