Sebagai representasi wakil daerah yang sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, Senator DPD RI memiliki peranan yang sama pentingnya dengan mereka yang duduk sebagai anggota DPR RI. Tetapi mengapa sampai saat ini peran mereka terkesan hanya sebagai sub-ordinate DPR saja? Suara mereka terdengar sayup-sayup terselip oleh kegaduhan para anggota DPR RI yang penuh sensasi. Apa penyebabnya dan bagaimana cara menaikkan volume suara mereka?
Amandemen UUD 1945 pada tahun 2001 menjadi titik lahirnya Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) yang merubah struktur ketatanegaraan di negara Indonesia. Di tingkat legislatif, kini terdapat dua dewan, yang dikenal dengan sistem bikameral (dua kamar ), DPD RI sebagai perwakilan rakyat untuk mewakili daerah (provinsi) di tingkat pusat, sedangkan DPR RI menjadi perwakilan rakyat dari jalur partai politik. Dalam proses pemilihannya, mereka yang mencalonkan diri sebagai wakil daerah, sama-sama dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum bersamaan dengan pemilihan anggota DPR RI.
[caption caption="Suasana Sidang DPD RI (Sumber: www.dpd.go.id)"][/caption]
Sebagai perwakilan rakyat di daerahnya masing-masing , anggota DPD RI memiliki wewenang untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan kepentingan daerah yang diwakilinya. Ini mencakup soal otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Layaknya DPR RI, para senator ini juga berhak mengajukan rancangan undang-undang terkait kewenangan mereka, membahasnya, memberi pertimbangan kepada DPR RI dan presiden, dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tersebut. Hanya saja DPD RI tidak memiliki kewenangan dalam fungsi dan alokasi anggaran seperti DPR RI. Mungkin hal inilah yang menjadi penyebab mereka tidak memiliki taring tajam dibanding anggota dewan sebelahnya. Inilah yang menjadikan suara mereka nyaris tak terdengar. Padahal, perimbangan alokasi anggaran antara pusat dan daerah merupakan isu sentral selama ini. Ditambah lagi, kewenangan memutuskan RUU menjadi UU ada di tangan DPR RI. Kewenangan para senator hanya dalam hal pengajuan RUU, sementara urusan ketok palu ada ditangan DPR. Karena itu, bargaining positionnya dalam memperjuangkan hak daerah kemudian menjadi lemah.
Faktor lain yang menjadikan suara senator-senator tersebut nyaris tak terdengar mungkin karena tak adanya kepedulian terhadap suara mereka. siapa saja yang tidak peduli? Bisa saja saya atau anda juga sebagai rakyat yang diwakili mereka, pekerja media atau mungkin para senator DPD RI itu sendiri. Ketidakpedulian ini seperti menjalar dalam satu mata rantai yang pada akhirnya semakin melemahkan suara mereka.
Mari kita ukur sejauh mana kepedulian kita terhadap peran DPD RI ini. Coba saja jawab pertanyaan simpel ini, tahukah anda anggota DPD RI yang mewakili daerah anda? Saya ragu anda bisa hapal semua wakil daerah anda. Saat saya tanyakan hal ini pada diri saya sendiri, saya hanya bisa mengangkat bahu. Saya hanya tahu selintas, ada dua pesohor yang lolos menjadi anggota DPD RI dari Jawa Barat. Oni SOS (pelawak dari grup SOS, temannya Sule) dan Aceng Fikri. Nama terakhir saya bilang pesohor karena mantan bupati Garut ini justru popular karena terguling akibat kasus nikah siri dengan anak dibawah umur. Saya juga baru tahu kalau masing-masing provinsi ternyata diwakili oleh empat orang senator. Nah, dua senator Jabar lainnya saya sendiri tidak tahu. Bagaimana dengan anda?
Berikutnya, tahukah anda bagaimana kiprah wakil daerah anda selama ini? Sudahkah mereka turun ke daerah untuk menyerap aspirasi rakyat yang diwakilinya? Untuk dua pertanyaan ini, lagi-lagi saya menggelengkan kepala. Saya buta soal kiprah mereka. Bukan berarti mereka tidak pernah turun ke daerah, tapi saya tidak mendapat informasi soal itu. Kemudian, pernahkah anda menyampaikan aspirasi anda pada mereka? Nah untuk hal ini pun saya mengaku belum pernah. Bahkan untuk sekedar tahu kemana saya bisa menyampaikan keluhan saya saja, saya angkat tangan. Fakta ini saya yakin juga berlaku bagi anda.
Soal kenapa kiprah senator DPD RI tersebut tak bisa saya ketahui, mungkin kita bisa menunjuk pada media pers sebagai biang keladinya. Patut ditanyakan sejauh mana pers mengekspos suara anggota DPD RI ini. Selama saya berlangganan koran harian atau nonton berita di televisi, sangat jarang saya mendapatkan liputan soal anggota DPD RI ini. Kalaupun ada, paling hanya seorang Irman Gusman yang akitf tampil di berbagai media. Ia seperti one man show diantara 134 anggota DPD RI lainnya.
Bisa dimaklumi mengapa media seperti ‘malas’ mengulas kiprah mereka. Peran DPD RI yang sebatas mengurusi kepentingan daerah tidak cukup menarik perhatian pekerja media. Ini menyebabkan kipran senator kita tak terekspose, kalah oleh silih bergantinya isu yang bergulir di kamar sebelah yang seakan tidak pernah habis untuk dibahas.
Terakhir, bisa jadi suara DPD RI ini tidak terdengar lebih karena para senatornya sendiri yang kurang kurang eksis dalam menyampaikan suara mereka. Selain Irman Gusman, sangat jarang anggota DPD tampil di media. Bukan berarti tidak pernah, tapi karena intensitasnya mungkin sangat jarang sehingga tak bisa mengangkat suara mereka.
Bila terlalu sulit mengukur seberapa sering senator DPD RI sering tampil di ruang media, maka kita bisa lihat dari berapa banyak diantara mereka yang memiliki website pribadi. Bagi saya, personal website merupakan salah satu usaha mereka dalam mengekspose kinerja mereka, maupun dalam memberikan wadah untuk menampung aspirasi rakyat yang diwakilinya. Tercatat, dari semua anggota DPD RI tersebut, hanya 9 anggota yang memiliki website pribadi, mereka adalah Fahira Idris dan Daulami Firdaus dari DKI Jakarta, Anna Latuconsina dari Maluku, Baiq Diyah Ratu Ganefi dari Nusa Tenggara Barat, Abdullah Manaray dari Papua Barat, Aryanthi Baramuli Putrid an Maya Rumantri dari Sulawesi Utara, serta Irman Gusman dan Jeffrie Geovanie dari Sumatera Barat. Artinya hanya sekitar 7% dari semua senator yang menyadari pentingnya penggunaan website sebagai media komunikasi mereka. Sisanya?