Lihat ke Halaman Asli

Ofi Sofyan Gumelar

TERVERIFIKASI

ASN | Warga Kota | Penikmat dan rangkai Kata

Ajinomoto dan Diplomasi Ruang Olah Makanan

Diperbarui: 7 Maret 2017   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rahasia Mengubah Chef Amatir Menjadi Profesional (sumber: dokpri)

Mantan Bos saya pernah berujar, “Salah satu surga dunia itu adalah makanan enak.” Sebagai sesama orang yang hobi makan, saya mengamini quote darinya tersebut. Saya sempat merasakan betapa enaknya punya bos yang punya selera makan bagus sekaligus tidak pelit. Hampir setiap hari saya ditraktir makan siang gratis di beberapa rumah makan berbeda demi memenuhi hasrat menikmati surga dunia tersebut. Makan enak tapi kantong tak menipis, itulah the real surga dunia hehehe…  

Tapi, kebiasaan makan enak tersebut membawa efek samping pada lidah ini. Ia menjadi sensitif jika mengecap makanan tak enak. Lidah ini seperti sudah kecanduan untuk menikmati masakan yang super lezat. Saya pernah merasakan kepanikan luar biasa soal ini.

Kalakian, dua tahun lalu saya mendapat tugas belajar selama setahun di negeri Sakura. Iya, saya panik karena sebagai orang yang hanya bisa membuat mie rebus serta telor ceplok dan telor dadar, saya sadar saya akan dilanda masalah serius soal urusan makan. Ketika jauh dari isteri, saya harus bisa memasak sendiri.

Kamu tahu, bagi seorang muslim yang harus hidup di negeri dengan mayoritas penduduknya non muslim akan sangat kesulitan mencari makanan halal. Buat makan di restoran pun bukan perkara mudah, sudah mah gak ada jaminan halal, harganya pun tak cukup untuk kocek mahasiswa yang hanya mengandalkan beasiswa. OMG! Apakah saya harus makan mie dan telor terus selama setahun nanti? Begitu kegelisahan saya menjelang keberangkatan ke negerinya Kenshin Himura itu.

Tak ada jalan lain, saya harus belajar masak.

“don’t worry beb,… Aku punya resep khusus biar masakanmu lezat,” begitu bisik isteri tercinta ketika saya curhat soal masalah yang bakal saya hadapi nantinya.

Seminggu sebelum keberangkatan saya sudah ditraining bagaimana memasak makanan yang biasa disajikan isteri saya. Karena waktunya mepet, saya hanya belajar masak capcay, sop, sayur lodeh dan sedikit menu berbahan ikan laut. Tahu sendiri Jepang terkenal dengan konsumsi ikan lautnya kan? stok ikan disana pasti berlimpah, jadi saya harus bisa dong mengolah masakan seafood.

Soal motong-motong sayuran, jangan ditanya laah. Kata isteri, selama buat dimakan sendiri tak perlu presisi potongannya. Suka-suka saja katanya. Lagian saya sering melihat di acara masak memasak Rudi Khoirudin atau Chef Juna terlihat seperti asal-asalan kok motong wortel, buncis atau kentang.

Yang mungkin sedikit rumit adalah soal bumbu. Kombinasi gula, garam atau rempah-rempah untuk makan tertentu ternyata berbeda-beda. Saya sedikit kesulitan untuk mencampurnya. Namun, saya melihat diantara semua bumbu masak tersebut, selalu ada penyedap rasa yang wajib dipakai oleh isteri.

“Ini lho,…rahasia makanan lezat itu,” kata isteri sambil membubuhkan ¼ sendok makan serbuk Kristal ke dalam kuah masakan yang sedang kami buat. Serbuk itu diambil dari sebuah bungkus plastik bening berlabel Aji-No-Moto® yang tergeletak diantara wadah bumbu-bumbu masak. Benda yang tak asing buat saya sebenarnya. Sejak kecil saya sering melihat ibu saya menggunakan Aji-No-Moto® buat masakan olahannya.

Wah,  saya memang kurang gaul di dapur. Perkara bumbu masak yang dipakai isteri saja saya gak tahu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline