Dalam sidang pengadilan kopi Mirna hakim memvonis Jessica dengan hukuman 20 tahun penjara.padahal tak ada bukti empirik langsung yang memperlihatkan terdakwa menaruh sesuatu kedalam gelas yang diminum korban
Pengacara terdakwa pun mempermasalahkan hal ini,dan dijadikan sebagai salah satu poin pembelaan utama. lalu,mengapa hakim tetap menjatuhkan vonis bersalah ?
Jawabnya adalah : karena hakim telah bermain logika.dari potongan potongan bukti empirik yang terserak yang tiba di pengadilan hakim membuat rekonstruksi berdasar logika lalu memutuskan terdakwa bersalah walau tak ada bukti empirik langsung terdakwa telah menaruh racun
Dengan kata lain,ini adalah putusan yang dibuat oleh akal,ketika permasalahan tidak memiliki atau kekurangan bukti empirik langsung.artinya akal memiliki kekuatan untuk memutuskan benar atau salah tanpa bergantung secara mutlak pada bukti empirik langsung
Dan memang para pelaku kriminal akan banyak yang lolos dari pengadilan kalau pengadilan memberlakukan 'prinsip empirisme' yaitu kesalahan terdakwa harus terbukti secara empirik langsung karena jarang ada yang melihat tindakan kejahatan dan lalu langsung merekamnya dengan kamera
(saya pernah menulis bahwa pada pengadilan kopi Mirna ada pertarungan antara golongan empirik-yang melulu minta bukti empirik yang utuh-komplit dan golongan rasional yang menganggap cukup dengan menggunakan logika logika)
Nah lalu bagaimana dengan fihak fihak yang terhadap segala hal-permasalahan ngotot harus selalu berdasar atau menyertakan bukti empirik langsung agar dapat dinilai benar atau ilmiah ?
Masalahnya adalah,bukan hanya di pengadilan yang selalu berhadapan dengan bukti empirik kejahatan yang tidak komplit, di dunia sains pun demikian. ketika sains kekurangan bukti empirik otentik yang langsung (dapat ditangkap dunia inderawi) maka mereka jatuh kepada berhipotesa lalu lahir teori teori yang berdasar hipotesa karena ketiadaan bukti empirik langsung itu.ini terjadi misal dalam kasus teori evolusi Darwin.dalam teori Darwin saintis berhipotesa tentang manusia yang ber evolusi dari makhluk sejenis primata
Tapi celakanya sebagian menyangka itu bukti empirik langsung lalu membenturkannya dengan agama padahal hakikatnya cuma teori hipotetik-berdasar hipotesa
Nah terhadap hipotesa hipotesa semacam teori Darwin pun logika akal harus ikut dimainkan. misal dengan mengajukam pertanyaan : bila sejenis primata ber evolusi menjadi manusia,lalu kenapa jenis primata yang lain memilih tetap menjadi primata padahal tantangan alam yang mereka alami toh tidak jauh berbeda atau malah sama saja
Nah,terhadap kasus kasus yang tidak menyertakan bukti empirik langsung itulah akal harus ikut bermain agar manusia tidak disesatkan oleh dugaan dugaan atau hipotesa hipotesa yang berkembang