….
Ilmu pengetahuan sebagai konstruksi ADA part 6.sebelumnya part 1,part 2,part 3,part 4,part 5
Telah disinggung di muka - pada artikel sebelumnya, bagaimana upaya para failosof membangun bentuk kebenaran konstruktif-logosentris dalam dunia filsafat nampak begitu sulit dan bangunan yang telah terbentuk pun nampak rapuh karena pertama,disamping hanya berpijak pada bangunan alam fikiran manusiawi - tidak berpijak pada sumber yang bersifat hakiki - yang ditetapkan dari ‘atas’ juga sering diguncangkan oleh para pembangunnya itu sendiri, sehingga ibarat upaya membangun sebuah gedung besar oleh para tukang yang masing masing memiliki ide sendiri sendiri yang bahkan bisa berlawanan satu sama lain sehingga bangunan yang diinginkan akhirnya menjadi sulit untuk bisa terwujud
Dan kedua,karena konstruksi yang ada-berhasil dibangun tidak memadai untuk bisa merangkum seluruh bagan problem kebenaran yang hadir kedalam alam fikiran manusia. bangunan konsep kebenaran dalam dunia filsafat tak menyentuh hingga ke taraf ‘hakikat’ atau sudah tak bisa menyelesaikan problem keilmuan yang sudah menyangkut masalah ‘hakikat’ misal : ‘hakikat dari segala suatu’.sehingga dalam hal ‘hakikat’ para filsuf pun hanya sebatas bisa bertanya tanya .. mengapa (?) .. karena ‘hakikat’ dari segala suatu tentu suatu yang keseluruhannya hanya bisa ditetapkan oleh Tuhan tak bisa ditetapkan oleh manusia kecuali sebatas bagan yang bisa nampak langsung pada manusia (seperti hakikat api),sedang tiap bagan dari Ada itu memiliki ‘hakikat’ nya sendiri sendiri
Ketiga,konstruksi bangunan kebenaran dalam filsafat hanya sebatas mengandalkan kekuatan berlogika tetapi manusia (yang berlogika) tidak bersepakat bermuara kepada satu hakikat yang mengikat keseluruhannya.karena tidak diikat oleh satu hakikat yang mengikat keseluruhannya itulah logika dalam dunia filsafat menjadi tercerai berai ke berbagai sudut pandang yang berbeda beda.seperti kumpulan lidi yang tidak diikat oleh tali dan berantakan (tidak menjadi sapu).dengan kata lain pada akhirnya manusia membawa logikanya ke arah sudut pandangnya sendiri sendiri,sehingga sebagai contoh, akibat dari para filsuf yang masing masing tentu saja ‘berlogika’ adalah lahirnya beragam 'kebenaran' versi logika nya sendiri-sendiri, ada logika versi kaum materialist-empirik, rasionalis, logika versi Descartes,versi Kant dlsb. semua menggunakan instrument ‘logika’ dalam berfikir tetapi mana yang hakikatnya benar serta mana yang sesungguhnya bisa membawa manusia ke ranah ‘kebenaran hakiki’ (?) .. atau dengan kata lain penggunaan instrument logika dalam dunia filsafat tak menjamin manusia bisa menemukan konsep kebenaran menyeluruh-mutlak-menyatu-konstruktif yang bisa diterima dan difahami secara mutlak oleh keseluruhan tetapi malah bisa melahirkan pandangan yang terpecah belah - benturan pandangan antara satu dengan yang lain.dengan kata lain berlogika dalam dunia filsafat tak menjamin manusia menemukan ‘yang satu - kebenaran tunggal’
Nah perhatikan bahwa sampai pada taraf ber logika ini manusia sebenarnya memerlukan instrument ‘hakikat’ (yang menyatukan dan ‘mengadili’ keseluruhannya-mengadili mana yang hakikatnya benar-mana yang hakikatnya salah) dan itu yang tak ada dalam filsafat dan yang hanya ada dalam agama.sehingga fungsi ilmu hakikat yang ada pada agama diantaranya adalah mengadili semua hasil berlogika manusia untuk ditetapkan mana yang hakikatnya benar dan mana yang hakikatnya salah,sebab menurut hukum logika sendiri : mustahil dua atau lebih hal yang berlawanan semua benar,artinya yang benar itu hakikatnya hanya mungkin ada satu.tetapi untuk melaksanakan hukum logika yang mendasar ini secara mutlak-menyeluruh parameter alat ukurnya tak bisa dibuat manusia.tak ada manusia yang secara total bisa mengadili keseluruhan hasil berfikir manusia lainnya hanya dengan bangunan logika nya sendiri.sang pengadil keseluruhan tetaplah harus ‘dari atas’
Dan pertanyaan lainnya mungkin : mengapa (logika beragam) itu harus diadili oleh yang satu (?) ... sebab itulah jalan kepada mencari bentuk kebenaran yang tunggal-hakiki sebab ketika kelak manusia sudah pada taraf memahami yang tunggal maka didalamnya tak boleh ada lagi kontradiksi yang meruntuhkan ketunggalannya itu (sebagaimana kontradiksi di ranah logika),sebab 'yang tunggal' berarti 'yang tertinggi'-'yang terakhir' artinya yang tak bisa diruntuhkan oleh argument lain yang bisa menyaingi dan meruntuhkannya
Dalam buku buku pengantar ilmu logika bangunan ilmu logika memang selalu dilukiskan sebagai bangunan ilmu yang kontruksif menggambarkan bagaimana cara berfikir konsisten yang mengacu kepada tata cara berfikir tertentu yang bersifat systematik sehingga melahirkan bentuk kebenaran yang dinilai valid secara logika.tetapi hal itu hanya berlaku untuk permasalahan keilmuan yang terbatas yang bisa di olah - ditangkap dan lalu diterima oleh logika akal manusia secara umum.tetapi ketika permasalahan logika dihadapkan kepada berbagai permasalahan yang sudah bersifat kompleks - rumit khususnya yang sudah mulai mengarah kepada problem metafisik yang sudah diluar jangkauan metodologi ilmu logika yang bersifat formal maka disitulah permasalahan keilmuan yang lebih rumit mulai terjadi dan logika para filsuf biasanya akan mulai ‘berlarian’ ke arah yang berbeda beda - lebih ke ranah ‘subyektif’ - berdasar kacamata sudut pandang masing masing.artinya disinilah ‘keberantakan’ mulai terjadi dan bangunan kebenaran konstruktif - menyatu yang diharapkan tidak terbangun
Filsafat secara keilmuan pada dasarnya nampak berhenti di sebatas berlogika lalu setelah itu ‘bubar’ - ‘berantakan’ dalam arti masing masing akhirnya kembali ke ‘sudut pandangnya sendiri sendiri’ - tidak berlanjut ke taraf ‘mencari kebenaran hakiki yang tunggal’.. apa sebab (?) .. karena instrument atau peralatannya disana memang tidak ada .. peralatan ilmu yang tersedia yang tertinggi memang sebatas ‘logika’.itu sebab (setelah keterpecahan karena ketidak mampuan menggapai hakikat diatas) banyak kaum skeptik yang lahir dari dunia filsafat disamping tidak sedikit yang ‘melarikan diri’ ke pangkuan Tuhan untuk mencari rahasia ilmu - kebenaran pada taraf - tahapan berikut yang lebih tinggi dari sekedar taraf berlogika versi sintesa sintesa manusiawi
Sehingga sebagaimana yang saya ungkapkan dimuka satu satunya harapan untuk memperoleh rahasia pemahaman adanya bentuk kebenaran konstruktif-mutlak-menyeluruh-menyatu yang terfahami akal (logosentris - sesuai hukum logika) tinggal pada agama.dan lalu, bila timbul pertanyaan : agama yang mana .. (?) .. tentu saja agama yang bisa mengakomodasi seluruh problem keilmuan yang ditemukan manusia,termasuk problem metafisika yang kompleks bukan sekedar agama yang hanya berdasar mitos -yang hanya berisi ajaran moral-kebaikan semata.dan perbedaan mendasar antara agama Ilahi dengan agama buatan budaya manusia adalah agama Ilahi memiliki konstruksi ilmu pengetahuan yang menjadi konstruksi dari konsep kebenaran nya yang tidak ada pada agama mitos.ini yang tidak terfahami oleh para ‘antropolog - ahli teori - sejarah agama - Tuhan’- sosiolog semacam Eb.Tylor-James frazer, Karen armstrong, Emile durkheim dlsb. yang lebih melihat agama sebatas ‘hasil produk manusia’ sehingga semua agama yang ada tanpa kajian ilmiah yang mendalam cenderung disama ratakan atau dianggap ‘sama’
…………………………..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H