Lihat ke Halaman Asli

Ujang Ti Bandung

TERVERIFIKASI

Kompasioner sejak 2012

Suara Rakyat, saat Dielus dan saat Tertikam

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14092752101789557741

[caption id="attachment_355976" align="aligncenter" width="300" caption="www.solusimobil.com"][/caption]

..

Persis seperti peribahasa suara rakyat seperti roda pedati,kadang diatas kadang dibawah.terkadang diperlakukan seperti suara tuhan yang disanjung - dihormati dan dimuliakan lalu diminta dengan hormat agar bersedia datang ke bilik bilik suara,tetapi terkadang dianggap seperti koor suara kodok di sawah yang suaranya sumbang tak enak didengar sehingga terkadang terpaksa dibungkam agar diam

Tulisan ini hanya sebuah refleksi sekaligus reaksi atas pandangan politik seorang pengamat politik dalam bincang bincang seputar masalah transisi kepemimpinan disebuah televisi swasta.sang pengamat politik memiliki pemikiran bahwa andai pemerintahan SBY ingin menaikkan harga BBM maka itu tidak akan menjadi beban politik baginya karena rakyat sudah tak mungkin memilihnya kembali,karena masa jabatan kedua telah habis.

Terus terang saya langsung merasa geram dengan pandangannya itu karena saya berfikir, apakah karena dianggapnya suara rakyat itu sudah tak dibutuhkan lagi oleh pemerintahan yang lama maka pemerintahan yang lama seolah boleh membuat kebijakan apapun bahkan andai itu kelak akan menimbulkan beban berat bagi rakyat kecil (?) .. lain mungkin ketika suara rakyat sedang dibutuhkan untuk memperpanjang masa jabatan kedua maka sang pengamat politik tadi mungkin akan memberikan nasihat politik sebaliknya bahwasanya karena pemerintahan masih satu periode maka disarankan untuk bersikap hati hati dalam membuat kebijakan yang bisa menyengsarakan rakyat kecil agar mereka tak lalu menjadi marah dan lalu memutuskan untuk tidak memilihnya kembali.saya lalu memparalelkan pandangan politik sang pengamat politik seperti itu dengan istilah ‘culas’ sebab hanya memperlakukan suara rakyat sebagai tak lebih sebagai komoditi politik - alat untuk menaikkan seseorang pada kekuasaan politik semata bukan sesuatu yang secara permanen didudukkan pada kedudukan yang layak untuk di hormati

Bercermin kepada pikiran sang pengamat politik itu tadi saya jadi berfikir,oh.. harus seperti itukah suara rakyat harus diperlakukan dalam panggung permainan politik .. karena mungkin boleh beda sikap antara ketika suara mereka sedang dibutuhkan dan ketika sedang tidak dibutuhkan (?).padahal dalam slogan demokrasi suara rakyat dianggap ‘suara Tuhan’ - suara sang raja yang harus di hormati - diikuti dan dipatuhi. tetapi ketika suara mereka sudah tak diperlukan lagi apakah suara mereka hanya dianggap suara orang orang yang tak berdaya yang telah ‘turun tahta’ bukan lagi dianggap sebagai suara Tuhan yang memiliki tahta sehingga harus didengar dan dimuliakan (?) ..

Apalagi saat ini ketika suara rakyat sedang meneriakkan koor kesedihan dan kemarahan akibat kelangkaan pasokan BBM dan isyu kenaikannya apakah suara mereka masih akan didengarkan dan diperhitungkan setelah suara mereka sempat menjadi ‘raja sehari’ dalam pesta demokrasi yang telah usai (?)

Semoga pemerintahan yang lama tidak mendengar ‘pesan culas’ sang pengamat politik itu tadi dan tetap mau memperhatikan suara rintihannya walau masa pemerintahannya akan segera habis.atau tidak melempar beban berat kepada pemerintahan baru dengan kebijakan yang memberatkan hati rakyat

Kita hanya bisa menanti .. apakah suara rakyat yang sedang merintih akan ditikam oleh pemerintahan lama ketika suara mereka ada pada posisi yang sudah tak memiliki pengaruh lagi karena dianggap sudah tak akan bisa memperpanjang kekuasaannya lagi.. atau sebaliknya,apakah justru pemerintahan yang baru yang berkeinginan membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat setelah suara mereka berhasil mengantarkannya ke panggung kekuasaan (?) .. padahal dulu saat masa kampanye ketika suara mereka sedang dalam posisi sebagai ‘suara Tuhan yang menentukan’ mereka di elus elus dengan beragam janji janji manis yang lalu ternyata berhasil mengantarkannya pada panggung kekuasaan,tetapi apakah kini ketika ‘suara Tuhan’ sudah menjelma kembali kepada wujud aslinya sebagai suara rakyat yang merintih-yang tak berdaya, akankah suara keluh kesah mereka akan tetap diperhatikan atau malah ditikam (?) ..

Kalau ini yang terjadi rasanya saya makin sadar bagaimana sebenarnya suara rakyat,hak politik rakyat ditempatkan dan diperlakukan dalam panggung politik. sehingga wajar andai bila ada rakyat kecil yang lalu bertanya : apakah makna hak politik bagi rakyat itu hanya untuk mengantarkan seseorang pada kursi kekuasaannya semata (?) …

Semoga yang ‘diatas’ apakah pemerintahan lama atau pemerintahan baru mendengar dan memperhatikan … dan tidak mendengar pandangan culas sang pengamat politik diatas itu tadi .. artinya tetap memposisikan suara rakyat sebagai suara yang wajib dihormati dan di muliakan secara permanen walau wujudnya sudah bukan lagi ‘suara Tuhan yang menentukan’ - walau andai suatu saat suara mereka berubah menjadi suara rintihan kaum papa yang tak berdaya. walau di sisi lain tentu tak perlu didengar andai - apabila suatu saat mereka menghendaki hal hal yang berlawanan dengan kehendak Tuhan yang sebenarnya yang ada diatas sana agar negeri ini diberkahiNya

…………

Dan maafkan kalau rakyat kecil mungkin tidak mau tahu perihal apa yang terjadi di hulu nya sana yang membuat pasokan BBM bersubsidi dibatasi sehingga lalu menjadi barang langka dan sulit didapat,lalu rakyat pada antri .. yang mereka inginkan hanyalah kehidupan yang normal seperti biasanya tidak ada gejolak yang meresahkan dan menakutkan

……….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline