Lihat ke Halaman Asli

Ketika Kartini-kartini Modern Melukis Asa di Atas Aspal

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di salah satu sudut Taman Mini Indonesia Indah terdapat gugusan pohon pterocarpus indicus atau angsana, tempat dimana kelelahan bertualang seharian ditumpahkan di bawah rindangnya. Kala itu Juni 2006, awal ketika saya baru pindah ke Jakarta untuk memulai hidup baru. Di bawah keteduhan pohon itu pulalah saya menghempaskan peluh setelah seharian menjajaki minitatur Indonesia : hal yanghampir dilakukan siapapun yang pertama kali bertandang ke Jakarta. Riak-riak suara, gemuruh tabuhan dan berbagai atraksi seolah tak  ada habisnya.

Tak jauh dari tempat saya berbaring malas, duduklah seorang gadis kecil. Usianya sekitar 10 tahun. Dia mengenakan kebaya Jawa dan didandani seperti pengantin. Sesekali dia mengelap titik-titik keringat yang menyembul dari pori jidatnya menggunakan sapu tangan lusuh digenggamannya. Lalu seorang pria bermulut besar mendekatinya dan berteriak, “10 menit lagi.” Saat mendengar aba-aba itu, sang gadis buru-buru membenarkan letak sanggulnya, lalu menimpali kembali wajahnya dengan bedak. Berkaca sekali lagi, siapa tahu adabekas gincu yang meluber ke pipi. Saat waktunya tiba, dia bangkit dan maju ke tengah, menjadi tontonan khalayak yang membentuk formasi melingkar.Ya, dia adalah penari.Saya ingat betul bahwa saat itu adalah hari Senin, hari yang membuat saya bertanya-tanya, tidakkah seharusnya dia berada di sekolah, mengikuti anak-anak seusianya ? Tapi kemudian saya laru dalam penampilannya. Ketika irama gamelan menyatu dengan gerakan pinggul dan lenggak-lenggok tangannya, saya seolah disuguhi sensasi seni tak ternilai. Gerakannya penuh intonasi. Saat nada melambat, gemulainya bagai mengelus-elus batin. Ketika genderang ditabuh kencang, aksinya laksana pemberontakan jiwa. Dia meronta-ronta seakan benci dengan kehidupan ini. Kata hatinya meraung dahsyat, terpancar lewat tatapan matanya.

Penonton yang terkesima kemudian berbondong-bondong mengisi ember dengan ceperan. Syukur-syukur uang ribuan. Petang hari, sang mandor menghitung laba. Sang gadis diselipin 15 ribu. Tak lebih tak kurang. Dia meletakkan uang itu dibalik kutang gadis belianya, suatu tempat yang belum utuh disebut payudara. Usai menanggalkan kebaya dan menggantinya dengan balutan kaos ketat pink bertuliskan “ Happy Girl”, dia membaur ke kelompoknya yang sedang menikmati ketoprak. Dia sendiri tak makan. Seorang rekannya bertanya,”Makanlah dulu, kita pasti menunggumu.” Dia hanya mengulum senyum sebelum beranjak meninggalkan temannya dan memutuskan menunggunya di gerbang. Selepas kepergiannya, rekan yang bertanya tadi disenggol oleh rekan yang lain,”Dia tidak mungkin makan sendiri di sini, sementara adiknya menunggu uang yang akan dibawanya pulang.”

Urapan cahaya senja sore itu menggiring suasana batin saya merenung dalam keramaian. Waktu saya melewati gerbang, saya melihat gadis itu duduk di tepi pedestrian. Dia makan gorengan dingin yang sepertinya di bawa sejak pagi. Saat saya melewatinya, ada sesuatu berkecamuk dalam dada saya. Kondisi saya yang belum kerja adalah hal yang paling saya sesalkan. Memberi. Tidak. Memberi. Tidak. Memberi. Tidak. Itu saja yang dipertentangkan batin saya. Terus terang, saya termasuk orang yang tidak mengisi ember tadi. Alasannya jelas. Sangat jelas malah. Bahkan saat itu saya baru saja kecopetan hape, satu-satunya media komunikasi jika perusahaan hendak menelpon saya untuk interview kerja. Namun, obrolan-obrolan tadi seakan mendobrak-dobrak nurani saya. Ketika saya sudah mendekati jalan raya hendak naik angkot, tiba-tiba langkah kaki saya tertahan. Saya membayangkan hal-hal itu hanya ada dalam film drama, tapi nyatanya sore itu saya sendiri mengalaminya. Saya lalu berbalik lagi, mendekati sang gadis cilik itu, menandaskan hampir seluruh isi dompet kecuali untuk kebutuhan angkot sampai kontrakan teman.Sang gadis terbengong. Alasan saya masuk akal : tadi lupa ngasih karena ke kamar kecil. Tauge dari tahu tampak belepotan di sela bibirnya. Saya hanya membayangkan jika dia adalah adik saya. Itu saja. Tak lebih. Segitupun, saya tidak tahan menatapnya. Saya buru-buru berlalu, ditemani senja yang muram. Tiga hari kemudian, saya sudah dapat kerja.

***

13 April 2004.

Suara emas Do You Remember-nya Phill Collins mengalir dibalik kabel hand free ketika saya sedang berdiri di persimpangan Pasar Rebo yang riuh. Siang itu saya baru saja mengikuti seleksi masuk untuk jenjang pendidikan lebih tinggi di salah satu universitas ternama di Depok. Pasar Rebo, seperti biasa selalu identik dengan hal-hal berikut : semrawut, riuh, panas, jejalan manusia dari segala penjuru, pelanggar rambu lalu lintas, pengemis dan tentu saja oknum nakal.

Saat sedang asyik-asyiknya nunggu bis, tiga gadis menghampiri saya sambil berujar,”Mas, merokok nggak?” Sontak saja saya kaget. Mereka memakai pakaian terusan minim yang ujungnya hanya beberapa senti di atas lutut. Seluruh betisnya dibalur stocking. Sepatu hak tinggi. Rambut terurai. Lapisan bedaknya tebal. Bibirnya sensual, basah karena lipstik. Persis Dewi Persik. Melihatnya ber-tiga, mereka tak ubahnya seperti peserta audisi Miss Indonesia. Tapi buat apa ya mereka berseliweran di tengah keramaian amburadul ini ?

Karena tak ada respon, dia ulangi lagi,”Mas, merokok nggak?” kali ini dengan nada memelas. Saya jawab saja dengan senyum bahwa saya sama sekali tidak merokok. Mereka pun berlalu, menghampiri yang lain. Mereka adalah sales promotion girl untuk kretek. Biasanya digunakan untuk pemasaran rokok yang baru launching. Tugasnya adalah menjajal perokok yang bercokol di terminal atau warung-warung. Duh, hidup ini..nyari duit kok gitu-gitu amat. Ah, ikutin ah, batin saya. Saya lalu membuntutinya. Mencari tahu.

Setelah lima warung dia masuki dan tidak digubris, mereka berkumpul tak jauh dari penjual irisan buah yang dijual 2000 rupiah. Saya juga membeli buah sambil menunggu bis. Lalu seperti biasa, obrolannya mengalir,”Susah banget ya..” Yang lain menimpali,”Beneran euy..agak berat hari ini.” Gadis yang satu berdua dengan temannya menggamit irisan pepaya di tangannya. Karena tak mau buang-buang waktu, sang gadis memprospek sang abang penjual irisan buah,”Bang, ngerokok nggak ?”

“Meroko...lah (maksudnya : ya iyalah)” jawab sang abang lugas, tapi karena sudah tahu maksud sang gadis yang buru-buru mengeluarkan produk kretek-nya, sang abang melanjutkan,”..tapi mah bukan yang kayak gitu.”

Nyali sang gadis ciut. Tak kehabisan akal, sang gadis merayu,” Bang...belilah bang, satu aja. Hari ini saya belum menjual satu pun. Saya bisa kena marah besar jika barang ini saya bawa pulang.”

Penasaran, sang abang bertanya balik,”Kenapa sih neng mesti ngejual kayak gitu. Geulis-geulis (cantik-cantik) pula.”

“Yah...mau gimana lagi, Bang. Bisanya ini wae (aja). Namanya juga nerusin hidup, Bang.”

Saat mendengar bagian ini, ada keharuan yang sulit dibendung dalam dada saya. Belum sadar juga dari lamunan, saya dikagetkan oleh suara pria dari sepeda motor. Wajahnya garang. Duduk di sadel sepeda motor, dia lantas berteriak ke arah ketiga gadis itu,”Kerja...Kerja...Kerja..!”

Buru-buru ketiga gadis semlohay itu membenahi pakaian dan tas kecil yang berisi rokok. Sang Abang menggratiskan buah pepaya yang terlanjur di lahapnya. Ketiga gadis itu berlalu, menuju jantung keramaian yang lebih pekat, panas, riuh dan tak pasti. Saya yakin, dibenaknya selalu terngiang ancaman jika pulang dengan membawa barang itu lagi. Di atas bis ber-AC, saya sempat mengamati mereka sebelum bis melaju ke dalam jalan tol. Bedaknya masih utuh. Bibirnya masih basah. Stockingnya pun masih ketat. Batin saya lalu bertanya,”Entah untuk siapa, sampai mereka bertarung hidup seperti itu..”

Saat pemutar musik beralih ke lagu Chicago berjudul You Come to My Senses, dibawah semburan dinginnya AC, saya menyesali keputusan tadi : Tidak bisakah saya sedikit longgar untuk hal-hal yang mungkin bisa merubah kehidupan orang lain ? Saya bisa saja membelinya, lalu membuangnya. Karena memberi ke orang lain juga tak guna.

You come to my senses, every time I close my eyes

I have no defences driving home in the cold January rain

Tuh kan..Saya menangis.

***

Apapun namanya, penari dan SPG rokok tadi adalah portrait bahwa banyak Kartini-Kartini jalanan akibat seorang ayah atau kakak laki-laki yang lepas tanggung jawab. Atau bisa jadi, mereka yang terbuat dari tulang rusuk laki-laki itu justru menjadi tulang punggung akibat kondisi kehidupan yang memilukan. Tugas kitalah semua mengurai benang kusut layang-layang kehidupan bangsa kita, termasuk para wanita yang menjadi tiang bangsa. Bagaimana jika hal yang sama terjadi pada orang terkasih kita ?

Roda bis melaju. Marah juga tak tahu mau ditujukan ke siapa. Tapi setidaknya, buat para istri pejabat, bujuklah suami Anda untuk cukup puas dengan gaji yang ada sekarang, tak perlu korupsi sehingga uang negara cukup untuk memberi mereka pendidikan agar mendapatkan kehidupan lebih baik.

Oh I really have no defences. Mudah-mudahan Chicago tak marah, saya merubah lirik lagunya.

Saya yakin, cukup banyak Kartini-Kartini lain yang mengukir asa di atas aspal. Semoga Tuhan memberi mereka kekuatan untuk menciptakan pelita dalam kehidupanmereka yang masih dipandangnya gelap. Dan untuk laki-laki, berhentilah jadi pemalas!

Selamat Hari Kartini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline