Setelah membaca artikel Demarhendra berjudul "Antipremanisme Berpotensi Memecah Persatuan", hati saya tergelitik untuk 'membaca' secara singkat mengenai persoalan sosial yang sedang dihadapi oleh masyarakat Yogyakarta saat ini. Persoalan eksekusi tahanan LP Cebongan oleh Kopassus telah mengangkat persoalan kemajemukan yang sebelumnya hanya menjadi isu laten di masyarakat. Di beberapa sudut kota Yogyakarta dan kabupaten Sleman terpampang jelas spanduk-spanduk dukungan terhadap Kopassus dan Polri. Dalam spanduk-spanduk tersebut juga tertulis pernyataan perlawanan terhadap bentuk premanisme. Ada pula poster dan pamflet yang menunjukkan peringatan bagi para pendatang untuk bersikap baik dan tidak mengganggu harmoni sosial di Yogyakarta. Sementara itu, di level masyarakat, muncul suara-suara yang mengamini isi dari spanduk dan poster-poster itu. Mereka memiliki pengharapan dengan terjadinya eksekusi tahanan LP Cebongan, preman-preman yang berada di Yogyakarta (khususnya yang dari luar Yogyakarta) bisa jera berbuat kriminal. Selain itu mereka juga berharap pendatang terutama mahasiswa untuk bersikap lebih baik lagi. Kemudian,, muncul pertanyaan dalam benak saya. Mengapa Yogyakarta yang terbilang ayem dari konflik, bisa muncul ‘suara’ kritis terhadap pendatang? Dan mengapa masyarakat Yogyakarta di level bawah cenderung mendukung aksi Kopassus, dalam aspek ‘preman memang sudah harus diberantas’? Padahal, Yogyakarta sudah lama terkenal sebagai kota pelajar. Dengan begitu, sudah menjadi konsekuensi bagi masyarakat Yogyakarta untuk menerima para pelajar yang berasal dari luar Yogya.
Pertama, masyarakat Yogyakarta dan pendatang tidak saling mengenal karakter budaya masing-masing. Masyarakat Yogyakarta menerima pendatang yang kebanyakan adalah mahasiswa tetapi tidak terjadi interaksi yang baik di antara mereka. Masyarakat Yogyakarta pada umumnya menerima mahasiswa dari luar Yogyakarta lebih baik daripada di masa 70-80an. Saya pernah mendengar cerita bahwa pada masa itu banyak kos-kosan yang menolak mahasiswa dari Sumatera. Pada masa ini masyarakat Yogyakarta bersikap toleran (bahkan kadang menurut saya hiper-toleran). Sikap toleran pada tataran: silakan datang dan menetap, boleh srawung (membaur akrab) atau tidak, asalkan tidak mengganggu kepentingan masyarakat Yogyakarta sendiri. Selain itu, adanya kesulitan untuk saling memahami perbedaan karakteristik budaya di antara mereka baik asli maupun penduduk. Barangkali ada stereotype yang terus tereproduksi di masing-masing pihak dan tidak ada itikad untuk memperbaikinya. Sehingga, masyarakat Yogya cenderung untuk mentolerir perbedaan karakter tersebut dengan sikap cuek. Masyarakat Yogyakarta pun baru bersuara ketika sudah merasa terganggu. Misalnya persoalan Cebongan memunculkan suara ketidaksukaan terhadap para pendatang yang menggeluti ‘dunia preman’. Selain itu, saya juga pernah dengar keluhan mengenai dominannya pedagang dari Sumatera di daerah Malioboro. Namun untuk kasus Malioboro, saya belum mengeceknya lebih lanjut. Pernah juga beberapa tahun yang lalu terjadi bentrok antara pendatang dari Papua dengan warga Yogyakarta. Kedua, eksklusivitas kegiatan mahasiswa di kampus. Saya melihat salah satu aspek yang menciptakan jarak antara masyarakat dengan mahasiswa (khususnya) luar Yogya adalah kegiatan di kampus. Dalam beberapa tahun terakhir, bentuk kegiatan kampus yang melibatkan mahasiswa dalam pandangan saya cukup eksklusif. Eksklusivitas bisa dilihat dari minimnya kegiatan mahasiswa yang langsung berinteraksi dengan masyarakat. Selain itu, kegiatan mahasiswa hanya berkutat pada “oleh mahasiswa, dari mahasiswa, untuk mahasiswa” semata. Sehingga yang terjadi adalah mahasiswa tidak mengenal masyarakat dan masyarakat tidak mengenal mahasiswa. Ketiga, perkembangan tempat hiburan. Saya melihat persoalan ini dalam jangka waktu 5-7 tahun terakhir. Perkembangan ekonomi yang baik telah memunculkan tempat-tempat hiburan yang baru seperti café, club, maupun mall. Sejak 2005-2006, muncul café baru seperti Hugo’s Café di jalan Solo maupun Republik di Hotel Garuda meskipun tempat diskotik seperti Jogja-Jogja maupun Papillon pada akhirnya harus bangkrut. Kemunculan tempat hiburan malam baru itu pun juga memunculkan konsumen baru yaitu para mahasiswa berduit banyak berbeda dengan diskotik lama yang –katanya- tidak membutuhkan biaya sebanyak di Hugo’s dan Republik. Kemunculan Ambarukmo Plaza juga turut menyedot para mahasiswa luar Yogya. Secara tidak langsung keberadaan tempat hiburan seperti itu, mengurangi interaksi mahasiswa dari luar Yogya dengan penduduk sekitar kosnya. Keempat, kebutuhan jasa pengamanan dan ‘kemunduran’ preman asal Yogya. Persoalan ini belum bisa saya verifikasi karena hanya hasil dari selentingan kabar yang beredar. Kemunculan bisnis hiburan baru membutuhkan jasa pengamanan, sementara anggota kelompok preman asal Yogya menua, belum ada regenerasi, dan –katanya- banyak yang bertobat. Sehingga bisnis tempat hiburan malam lebih memilih para pendatang yang kebetulan juga membutuhkan pekerjaan dan memiliki keahlian dengan modal fisik. Kemudian yang menjadi “penguasa” dunia malam Yogyakarta adalah preman yang berasal dari luar Yogyakarta. Bisa jadi penolakan terhadap premanisme asal luar Jogja karena adanya ke-iri hati-an dari para preman dan mantan preman Yogyakarta (baik yang berada di dalam maupun luar ormas). Melihat persoalan yang laten dan berat potensinya, perlu dibutuhkan sinergi antara masyarakat (baik asli maupun pendatang) dengan pemimpin di Yogyakarta. Saya berpikir bahwa dibutuhkan sebuah pengayoman yang baik dari pemimpin entah itu pemerintah daerah maupun pemimpin agama dan kultur di Yogyakarta. Alhamdulillah, sejauh ini tidak sampai terjadi pergolakan sosial di Yogyakarta. Saya kira kekuatan Kraton dan Sri Sultan HB X masih bisa diharapkan untuk meng-handle potensi persoalan sosial Yogyakarta. Selain itu, kuatnya akar organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta setidaknya juga cukup membantu membentuk masyarakat yang kalem dan moderat. Perlu ada pembelajaran bagi tiap manusia yang berdiri di tanah Yogyakarta, baik masyarakat asli maupun pendatang agar bisa membangun lingkungan kemasyarakatan yang lebih baik lagi, lebih harmonis. Tak kenal maka tak sayang. Semoga Yogyakarta semakin aman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H