Suatu ketika seorang rekan kerja saya yang berkebangsaan Australia mencak-mencak setelah menerima surat keterangan dari Kantor Kepolisian RI setempat di kota saya. Masalahnya ternyata berpangkal pada pencantuman agama Kristen dalam surat keterangan tersebut. Dia merasa tidak pernah menuliskan agama apapun dalam formulir apapun. Kemudian, dia berterus terang bahwa dia tidak pernah memeluk agama apapun. Menurutnya, hal ini sangat keterlaluan. Saya lalu berpikir apakah sebaiknya kita buang saja 'agama' dalam KTP dan formulir-formulir identitas lainnya?
Hal ini menurut saya sangat beralasan. Pertama, pencantuman agama dapat menimbulkan diskriminasi sosial. Lihatlah sekeliling kita, orang-orang dengan mudahnya disulut untuk melakukan anarkisme atas nama agama. Kedua, dalam kehidupan yang demokratis sudah seharusnya setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa memandang agama apapun itu. Jadi, pencantuman agama itu tidak perlu. Ketiga, identitas keberagamaan seseorang seharusnya diperlihatkan dalam bentuk aktivitas peribadatan, bukan catatan. Jadi, seorang Kristen misalnya, dinilai masyarakat menganut ajaran Kristiani karena kegiatan peribadatannya di dalam atau di luar gereja. Bukan karena catatan sipil mengatakan demikian. Keempat, pencantuman agama tidak akan berpengaruh pada religiusitas seseorang. Pencantuman ini malah hanya akan menjadi prestise mayoritas di daerah tertentu yang berujung pada diskriminasi sosial.
Pada akhirnya, menurut saya pencantuman agama ini tidak demokratis dengan tidak memberikan pilihan kepada orang yang tidak beragama.
NB. Tulisan ini murni pendapat pribadi saya. Mohon dikoreksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H