Lihat ke Halaman Asli

Namaku Pertiwi

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku bertanya kepada kemarau tentang keadilan yang meranggas

Tentang nasionalisme yang melebur

Dan jawabnya,

sekalipun aku tak pernah ada

adil telah mati, terlindas keberingasan pejabat negeri

adil telah tenggalam, di laut keserakahan manusia

adil telah tercabik-cabik, oleh tajamnya peperangan saudara

Aku bertanya kepada hujan yang merentas deras di sekujur tubuh ini

Tentang kemanusiaan yang menggersang

Dan cinta yang mengering

Dan jawabnya,

Aku tak mampu menumbuhkannya

Sekalipun kutumpahkan seluruh air dari sumbernya

Aku tak mampu menyuburkannya

Sekalipun aku turun menahun

Betapa sombongnya,

Mereka yang berbicara mengutuk ketidakadilan

Melupakan janji seperti pengkhianat cinta yang melarikan diri

Menelantarkan sumpah setelah bertemu dengan bidadari

Betapa angkuhnya,

Mereka yang berbicara dan menyerukan  anti korupsi

Menelan seluruh harta warisan negeri

Mengakumulasi dalam tabungan pribadi

Aku tertawa, terbahak dalam tangis

Mendengar cacian hujan atas keegoisan pewaris negeri

Mendengar keluh sang mentari tentang punahnya rasa memiliki

Aku tertawa, dan air mataku membanjiri seluruh negeri

Mengisyaratkan nyeri

Dan pedih tak tertahan

Namaku pertiwi...

Dan tangisku memecah

Bagai seorang anak yang kehilangan sejatinya




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline