Lihat ke Halaman Asli

Bersama Dentang Jam Dua Belas Malam

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tahun baru hanya tinggal kurang dari 24 jam. Rasanya, semua orang sudah pasti memiliki rencana. Tawaran untuk merayakan tahun baru pun berdatangan. Tapi, aku masih belum menjawab. Mulut ini terasa berat meski hanya untuk mengucapkan kata “iya”.

Entah kenapa, sedari pagi hatiku gelisah. Aku pun tak mengerti apa alasannya. aku pun sama sekali tak bersemangat untuk pergi keluar rumah untuk merayakan tahun baru bersama teman-temanku. Biasanya mata ini begitu semangat membaca setiap pesan yang datang untuk mengajakku pergi. Kali ini, semua ajakan pergi kutolak. Seluruh organ di tubuhku sepakat, jika malam tahun baru ini harus kulewati di rumah.

Jawabanku untuk tidak menerima ajakan perayaan tahun baru membuat teman-temanku heran. Aku memang bukan anak malam yang doyan pesta tapi setidaknya aku akan berusaha hadir di acara tahun baru meski tidak sampai usai. Kedengarannya memang kuno dan tidak seru. Tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali.


Salah satu temanku bertanya, “Tumben lo gak mau pergi.”

“Iya, gue juga aneh. Males aja...” jawabku.

“Lagi kenapa lo?”

“Lagi pengen semedi di rumah.”

Ya, ini memang aneh. Jangankan orang lain, aku saja merasa aneh terhadap diriku. Tak tenang, gelisah, seperti mencari tapi tak ada yang hilang, ingin menangis tapi tak tahu kesedihan apa yang melanda.

Sisa siang itu kuhabiskan berhadapan dengan komputer kesayanganku. Tapi, pikiranku kosong. Bukan aku yang menatap layar tapi layar yang menatapku. Karena, meski akun facebook kuaktifkan, microsoft word juga kuaktifkan, i-tunes juga kuaktifkan, tapi tak ada yang kulakukan. Bengong, aku hanya bengong.

Malam pun datang. Riuh rendah suara terompet terdengar di sana-sini. Suasana begitu meriah. Tapi tidak dengan hatiku.

Kosong. Satu kata asing dalam hidupku. Namun kini, hanya itu yang mampu dengan tepat menggambarkan perasaanku. Mungkin, lebih cocok jika di katakan kosong dan hampa. Kenapa? Sekali lagi, aku masih belum tahu apa alasannya.

Selepas azan isya, aku hanya duduk-duduk di depan televisi bersama ibuku. Di keluargaku memang tak mengenal tradisi merayakan tahun baru. Makanya, aku sering merayakannya bersama teman-temanku. Ketika adik dan ayahku pulang dari mushola, Adikku meminta kepada Ayah untuk pergi keluar rumah.


“Yah, bosen seharian di rumah terus.” Rengek adik pertamaku, Iftah.

Ayah hanya tersenyum pada adikku sambil membuka sarungnya. Di keadaan normal, aku pasti sudah membantu adikku untuk merajuk pada Ayah. Tapi, karena sedang abnormal, aku hanya memandangi ayah dan adikku secara bergantian tanpa minat untuk berbicara sepatah kata pun.

Tak lama, Ayah masuk ke kamar. Saat keluar, sambil memutar kunci mobil di tangannya Ayah berkata, “Yuk, kita pergi.”

Ibu dan adik-adikku menyambut gembira ajakan itu. Aku masih sangat enggan untuk meninggalkan rumah tapi jika Ayah sudah mengajak pergi, itu artinya seluruh anggota keluarga harus ikut. Tanpa kecuali. Maka, aku pun ikut pergi bersama mereka dengan setengah hati.

Perjalanan berputar-putar kota Tangerang sebenarnya memang menyenangkan. Lampu-lampu jalan yang kerlap-kerlip. Orang-orang dengan antusiasme tahun baru yang tinggi. Tak ketinggalan, suara terompet dimana-dimana semakin menyemarakkan suasana. Canda-tawa bersama ayah, ibu dan adik-adik pun sebenarnya sungguh menyenangkan. Tapi, untuk kesekian kali, dengan menyesal harus kukatakan bahwa aku merasa kosong serta hampa.

Ayah memarkir mobilnya di depan sebuah restoran soto yang berada di daerah islamic. Ayah, ibu dan kedua adikku turun dari mobil menuju ke restoran tersebut. Aku berjalan mengekor mereka dari belakang. Tepat saat tanganku merogoh kantong, handphoneku bergetar.

Tertulis nama Reza di LCD hapeku. Reza adalah sahabatku di tempat les. Kami memang dekat. Namun hanya sebatas sahabat.


“Halo.” Suara Reza terdengar parau di telingaku.

“Hei. Kenapa lo?” Jantungku seketika berdegup kencang mendengar suaranya yang parau.

“Gue pamit.”

“Pamit? Pamit kemana lo?” suaraku mulai panik.

“Hari ini juga gue berangkat ke Rusia. Gue udah di bandara sekarang.”

“Lo kenapa baru bilang?!”

“Sori Uy, gue harus pergi. Bye.”

Tut...tut...tut...

Bersama nyala kembang api, bersama tawa dan sorak-sorai yang di teriakkan oleh orang-orang dan bersama dentang waktu tepat di angka dua belas, aku harus merelakan sahabatku pergi. Pergi ke tempat yang sulit kujangkau dan tanpa ada pesta perpisahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline