TERLEPAS dari isu 'Papua Merdeka'. Kasus korup elit di Papua sudah memasuki stadium empat tadinya sekarang sudah stadium enam, itu artinya sudah stadium sepuluh. Misalnya kasus korup, Bupati Biak Numfor; Thomas Alva Ondi dengan status tersangka kasus korup Rp, 84 Miliar diduga melakukan korup disaat masih menjabat sebagai Kabag Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Mamberamo Raya, 2017.
Mantan Kepala Dinas PU Provinsi Papua; Michael Kambuaya tersangka korup dana Rp, 89 Miliar proyek pembangunan ruas jalan Kemiri-Depapere Jayapura, 2017. Bupati Kabupaten Mimika; Eltinus Umaleng, dugaan kasus korup Pembangunan Gereja KINGMI 32 senilai Rp.160 milyar, 2017.
Sekertaris Daerah Kota Jayapura Drs. RD. Siahaya sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung sebagai terpidana Korup pakaian batik Dinas Kota Jayapura, senilai Rp 1,7 Milyar, 2017. Bahkan beberapa dugaan kasus korup lain yang masih disembunyikan oleh penegak hukum; negara.
Dampak atas kelakuan buruk itu, sistem pelayanan publik menjadi buruk dan menunjukkan masih banyak tindakan korup, masyarakat semakin terpuruk kehidupan ekonominya, pendidikan, dan kesehatan serta pangan/sandang. Yang lebih buruk lagi adalah lembaga penegak hukum yang tidak mampu menangkap dan memenjarakan para elit yang korup.
Penegak hukum lemah moral dan harga dirinya bahkan tidak puas akan kehidupan ekonominya, dengan muda masuk dalam perangkap elit yang berwajah mafia. KPK pun menjadi kaki tangan elit di Papua demi sejumlah imbalan ekonomi dan uang pulsa.
Sebagai upah balasannya, mereka sangat loyal dan patuh. Mereka dapat melakukan apa saja untuk kepetingan elit di Papua, termasuk berbohong kepada rakyat, menutupi-nutupi kejahatan, memutarbalikan logika hukum dan moralitas, bahkan membocorkan rahasia negara. Jadinya 'korupsi memihak yang bayar, bukan yang benar, bukan yang sesuai prosedur'.
Di satu sisi, penangkapan terhadap tersangka ataupun terduga kasus korup, masih dibilang jauh dari harapan rakyat. Elit di Papua ambigu untuk memerangi korup habis-habisan.
Pasalnya korup medukung penguasa. Pembangunan pun tetap jalan. Investasi asing dan para kapitalis tetap masuk dengan leluasa; Freeport misalnya. Bahkan dengan alasan gaji rendah, korup ikut mengerakan mesin birokrasi. Pungutan liar bebas rapi.
Padahal, korup merayakan anarki aturan dan integritas pemerintah bahkan merugikan banyak orang. Mereka tak lagi leluasa memanfaatkan sumber keuangan dengan cara yang koruptif. Satu per satu elit Papua maupun kerabatnya terjerak tindak pidana korupsi.
Namun, KPK dan lembaga hukum sejenisnya, yang masyarakat percayakan dan dipilih sebisanya bukan figur yang keras menerangi korupsi. Malah, mudah terbajak pada gaya perilaku elit Papua yang bermental korup.* Semoga!
Maiton Gurik, M.Sos. Jayapura, 28 September 2019. Waktu 16:50 Wit.