Lihat ke Halaman Asli

Maiton Gurik

Pengiat Literasi Papua

Papua Bukan "Ibarat Prakata"

Diperbarui: 10 November 2016   13:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Malangnya nasib Papua yang ‘tak berkaki,’ tak menginjak bumi, tak mampu pula menyentuh langit’ adalah ibarat makhluk air di atas danau hijau, yang penuh misteri, seolah ada di dalam namun sebernarnya tiada, untuk diambil manfaat bagi kemanusiaan dan peradaban Papua. Atau bisa pula, gambaran Papua seperti teori yang tak berguna, seperti benih yang ditanam kemudian mati muda, karena tak ada yang mau merawat dan membesarkannya. Demikian dikatakan Gurik dalam release yang diterima media ini.

Selanjutnya ia mengatakan bahwa Nasib Papua, sebaiknya jangan dibiarkan ia menjadi sepi dari pencarian, perenungan, tanpa sentuhan tangan perbaikan, proses berpikir kreatif yang sungguh-sungguh. Jangan pula Papua hanya sebatas ‘diare kata-kata’. Banyak dikeluarkan, tapi kemudian berakibat tubuh menjadi lemas tak berdaya. 

Mengelaborasi Papua adalah bagian dari kerja kemanusiaan yang berada digaris terdepan komunitas-komunitas Papua. Nasib Papua akan baik bila ia mengandung unsur yang rinci, sistematis dan mampu di perbandingkan. Akan lebih baik jika ia suatu yang indah, cantik rupawaan pilihan katanya, potensi menyimpan milyaran energi perubahan, mampu mengungkap akar persoalan, untuk membuka para pencari solusi. 

Namun, banyak pula nasib Papua yang tak dikenal oleh mereka, tak menarik untuk di pertontokan lewat ‘layar kaca mereka’. Papua itu dianggap ‘foto model belia; yang nasibnya ‘ ibarat buku tua,’ yang dibiarkan tertindih diam dibawah kepala, menjadi bantal alas tidur saja. Sekedar ada, tapi tiada, tiada diperhitungkan dan tidak mampu memberikan inspirasi, seakan-akan Papua itu ‘ibarat prakata’ saja.
Papua bukan prakata atau sebuah teori yang jelek dan tak menarik untuk diperdebatkan dan tidak mengundang orang untuk memberikan ulasan, sehingga ia tidak memperoleh kesempatan yang pantas dan proposional. Nasibnya akan mati kesepian. Papua bukan Teori tanpa kontestasi (pertarungan, pengujian nalar), sungguh tak berarti untuk disebut ‘telah lahir’. 

Untuk itu mari kita “mengenal Papua bukan ibarat prakata-kata Klasik” untuk dikunyah, dibolak- balik oleh gigi dan lidah, digiling didalam mulut, dirasakan dan dinikmati, sebelum ditelan bulat-bulat atau dimuntahkan jika ternyata kurang berkenan. Masalah Papua bukanlah sekedar tempelan atau pajangan, seperti foto pemandagan. Ia perlu di komentari, diberi makan, diskusikan, disampaikan, diperjuangkan sampai pada “ Tak Ada KATA- Prakata”. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline