Pasca reformasi, hasil pemilihan umum (pemilu) di Indonesia, dalam hal-hal tertentu, tidak jauh berbeda dengan kontestasi demokrasi di era Orde Baru. Orang-orang yang menempati jabatan eksekutif dan legislatif, sebagian besar disokong para pemodal atau oligarki. Keterpilihan karena money politic serta ketokohan yang dipoles oleh citra media massa dan konsultan politik, setidaknya menggambarkan bahwa pemilu di negara ini belum sepenuh beranjak menuju tahapan yang ideal.
Dalam pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, baik pasangan calon Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, didukung sekelompok oligarki yang menguasai sebagian besar sumber perekonomian Indonesia. Meski mereka kerap menggaungkan kemandirian dan otoritas dalam pengambilan keputusan ketika terpilih sebagai presiden dan wakil presiden, tetap saja kelompok pemodal berperan penting mempengaruhi setiap kebijakan kepala negara.
Demikian pula dengan pemilihan legislatif (legislatif). Para wakil rakyat yang terpilih memiliki jejaring serta hubungan yang kuat dengan pemodal dan kelompok oligarki yang berkepentingan mengeruk sumber daya ekonomi di tingkat nasional dan lokal.
Kita melihat masih sangat minim orang-orang yang duduk sebagai anggota legislatif yang memiliki kompetensi dan rekam jejak yang baik. Tak sedikit kita temukan wakil rakyat yang hanya bisa duduk manis saat kepentingan dan hajat hidup publik mesti disuarakan di forum-forum terhormat. Lebih miris lagi, sebagian dari mereka tidak memiliki kemampuan berbicara. Padahal, itulah modal terpenting yang harus dimiliki anggota dewan. Di sisi lain, wakil rakyat yang terpilih tidak memiliki keberanian mengkritisi, mengoreksi, dan meluruskan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat.
Lalu bagaimana agar pemilu di Indonesia dapat menghasilkan presiden, wakil presiden, dan wakil rakyat yang mampu menerjemahkan cita-cita founding father bangsa ini? Setidaknya ada tiga hal yang saya ketengahkan dalam catatan ini.
Perketat Seleksi di Tingkat Partai Politik
Partai politik memiliki peran penting menentukan calon presiden, calon wakil presiden, dan calon anggota legislatif. Sayangnya dewasa ini, partai politik masih dikuasai oleh oligarki. Pimpinan partai politik mewajibkan orang-orang yang diusung sebagai kepala negara dan anggota legislatif memiliki penguasaan terhadap sumber daya ekonomi. Pada titik ini, sebagian partai politik akan mengabaikan calon yang memiliki rekam jejak yang bersih, berpengalaman, dan kompetensi yang memadai untuk mengelola negara.
Setiap lima tahun sekali media massa mempertontonkan kepada kita calon wakil rakyat dan kepala negara yang harus menyetor puluhan miliar untuk mendapatkan tiket dari pimpinan partai politik. Tentu saja biaya operasional politik yang mahal menjadi alasannya. Di sisi lain, kebiasaan membagi-bagi uang saat pemilihan berlangsung, telah mendongkrak tingginya biaya yang harus dikeluarkan para calon kepala negara dan wakil rakyat.
Akumulasi dari sekian problem itu membuat calon presiden, wakil presiden, dan wakil rakyat, jarang yang lolos karena telah mengikuti seleksi dari para ahli. Sebab keputusan tertinggi dipegang pimpinan partai politik.
Karenanya ke depan, seleksi dari akademisi yang teruji kredibilitasnya patut dikedepankan sebelum partai politik mengusung calon presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif. Seleksi dapat meliputi kemampuan akademis, rekam jejak, dan kompetensi dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Klasifikasi Pemilih