Lihat ke Halaman Asli

Ufqil mubin

Rumah Aspirasi

Gurita Penyakit Jiwa

Diperbarui: 5 Februari 2019   12:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: nasional.tempo.co

Di saat teman-teman mengisi liburan sepuluh hari di rumah, berjumpa dengan sanak family dan teman-teman, aku memilih melihat kondisi sosial yang dialami masyarakat Jawa. Setiap tahun, Pondok Madani1 memberikan kesempatan berlibur setelah ujian semester pertama. Liburan ini dimaksudkan untuk kembali menyegarkan suasana batin dan membangkitkan semangat belajar santri setelah menghadapi ujian selama satu bulan di pondok yang didirikan trimurti itu.

Dalam sebuah kunjungan di desa terpencil di pulau Jawa, aku mengisi liburan pondok untuk menggali sebab-sebab kemiskinan yang melanda warga di desa tersebut. Tentunya kunjungan ini menguras energi pikiran dan tenaga.

Dalam kunjungan tersebut aku berdiskusi dengan dua orang buruh tani yang memiliki penghasilan setiap bulan Rp 300.000 (tiga ratus ribu rupiah). Setelah selesai berbincang hangat dengan mereka, salah seorang buruh tani yang berumur kira-kira 45 tahun mengajakku berkunjung ke rumahnya. Istilahnya melihat bagaimana kehidupan buruh tani di desa itu. Belakangan, setelah berkenalan, nama petani tersebut ternyata Pak Amiruddin.

Dia menjadi buruh tani untuk mencari peruntungan hidup karena tidak memiliki sawah. Laki-laki yang bertubuh kurus itu tidak lulus Sekolah Dasar (SD). Yang lebih memukul akal sehat, di tengah gencarnya pemerintah mengampanyekan pemberantasan buta huruf, dia malah tidak bisa membaca dan menulis.

"Siapa nama Adik?" tanyanya seraya bergegas menuju rumahnya. Perbincangan yang sudah berlangsung beberapa jam itu ternyata sampai lupa berkenalan terlebih dahulu, kami sibuk membicarakan masalah-masalah yang dihadapi petani di desa yang berdekatan dengan gunung tersebut.

Aku berjalan di sampingnya. Sesekali dia menunjuk jalan yang akan kami lewati menuju rumahnya. Dari jauh aku melihat rumahnya yang berdiri tegap di dekat sawah yang diapit oleh gunung.

"Nama saya Mahbub, Pak," jawabku singkat.

Dia tersenyum.

"Oh. Mahbub. Nama yang bagus, Dik," pujinya.

"Ah. Bapak bisa saja," ujarku sambil memotret anak-anak yang sedang bermain di pelataran rumah warga.

Laki-laki yang berkulit sawo matang itu nampak sederhana dan santun. Aku terkesan dengan cara bicaranya. Sepanjang jalan menuju rumahnya, dia selalu bertanya tentang diriku: dari pekerjaan, pengalaman di kampus dan pondok pesantren, sampai cita-citaku yang ingin belajar ke luar negeri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline