"Selama Jokowi memimpin, cari uang sulit. Sekarang pergi pagi, pulang sore, hanya dapat ratusan ribu. Dulu waktu SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, Pen.) semuanya mudah. Dapat Rp 2 juta, hanya berjualan dalam hitungan jam," demikian seorang pedagang di Samarinda Kalimantan Timur, berbicara kepada saya, belum lama ini.
Sebetulnya saya ingin menjelaskan lebih detail kepada perempuan "malang" itu. Tetapi dengan sekejap dia bilang, "mending kita ganti presiden. Pilih Prabowo saja. Supaya ekonomi kita lebih baik."
Seketika, saya tidak lagi bersemangat untuk menjawab dan menjelaskan perubahan ekonomi kepadanya. Apabila saya berdebat dengannya, sama saja berupaya memahamkan seseorang yang sudah terkunci pandangannya. Karena kesimpulannya sederhana, "ini semua karena salah Jokowi."
Tudingan ini sudah lumrah di negara kita. Segala sesuatu, sampai lingkaran hitam kehidupan pribadi, keluarga, bahkan persoalan percintaan yang berujung pada perpisahan, bisa berakhir pada penyalahan absolut pada para pengelola negara.
Sederhananya, mata rantai keterbuhungan sebab akibat atas sebuah masalah, selalu disimpulkan dengan cara yang sederhana. Anehnya, itu juga dilakukan oleh orang-orang yang telah mengenyam pendidikan tinggi, melahap banyak buku, atau mungkin mereka yang bekerja sebagai "aktivis media sosial."
Alur berpikir yang sayangnya bukan menyadarkan, memberikan dalil, dan penyadaran, melainkan hanya menyenangkan orang-orang yang justru sedang berada dalam lingkarangan "kesalahan berpikir."
Saya tidak sedang mengklaim sebagai pemegang kebenaran dalam analisa ekonomi. Tetapi ini hanya penegasan, bahwa penyederhanaan masalah sosial-ekonomi, kemudian mengabaikan hukum-hukum yang melingkupi perubahan struktur ekonomi: pergerakan pasar, perubahan pendapatan, pengangguran, kemiskinan, hingga defisit anggaran, justru akan menambah daftar fallacy pemahaman di bidang ekonomi.
Pertama-tama, saya ingin menegaskan, pada dasarnya, Indonesia, bukan satu-satunya pemain dalam kancah global. Negara kita terhubung dalam percaturan sosial-ekonomi-politik-budaya dunia. Tidak berdiri secara mandiri.
Karena itu, segala sesuatu yang terjadi di dalam negeri, khususnya di bidang ekonomi, tidak terjadi karena sebab tunggal. Melainkan akibat lanjutan dari proses percaturan ekonomi dengan ratusan negara yang bekerja sama dengan Indonesia.
Melonjaknya produksi bawang merah di China, seketika bisa membuat harga bawang di Indonesia terjun bebas. Apa sebabnya? Karena bisa jadi, produksi dari negara penghasil bawang merah terbanyak itu menyerbu pasar dalam negari. Dengan catatan, di Indonesia sedang berlangsung panen bawang merah. Sementara daya konsumsi masyarakat atau perusahaan, tidak berubah. Supply (penyediaan) bawang membengkak. Sedangkan demand (permintaan) tetap.
Ratusan tahun yang lalu, para ekonom telah bersepakat tentang hukum ekonomi, semakin banyak persediaan barang, sementara permintaan tetap, maka harga barang tersebut akan menurun. Hukum ekonomi ini, sampai saat ini tetap bekerja. Bahkan bisa diperluas dalam memahami masalah-masalah sosial yang sedang terjadi.