Lihat ke Halaman Asli

Ufqil mubin

Rumah Aspirasi

Buku, Media Sosial, dan Rendahnya Minat Baca

Diperbarui: 14 Juli 2018   16:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Abdullah
(Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)

Salah satu ciri negara maju adalah masyarakatnya memiliki tradisi membaca dengan intensitas yang lebih tinggi dibanding masyarakat di negara-negara berkembang. Kebiasaan membaca telah melekat dalam kehidupan pribadi dan sosial. Budaya demikian tidak muncul secara tiba-tiba. Melainkan terbentuk secara perlahan atas inisiatif pegiat sosial, orang tua, institusi pendidikan, dan pemerintah.

Pemerintah benar-benar dengan tekun menyediakan fasilitas dan mendorong setiap individu untuk membangun kecintaan pada ilmu pengetahuan.

Perbedaan tersebut membawa jurang pemisah antara masyarakat di negara maju dan berkembang. Akibatnya, luasnya ilmu pengetahuan yang dimiliki sebagian besar individu di masyarakat, memudahkan pemerintah untuk menginisiasi pembangunan, menciptakan stabilitas, dan mendorong perubahan di berbagai bidang.

Generalisasi tersebut tidak bermaksud menciptakan unitas masyarakat dalam kepribadian, gaya hidup, ekspektasi, orientasi, dan budaya. Saya hanya berusaha memudahkan dan memberikan penekanan pada penyebab perubahan bangsa.

Pada dasarnya, di negara berkembang, tidak semua individu memiliki budaya membaca yang rendah. Sebagian di antara mereka mampu mengungguli ilmuwan-ilmuwan Barat dan Eropa yang sudah lama menempati urutan teratas sebagai negara maju yang telah memproduksi beragam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ada dorongan individual dan sosial yang mendasari setiap orang untuk menghayati kehidupan yang didapatkan dari materi bacaan. Sehingga memiliki keinginan untuk menggali ilmu melalui aktivitas membaca. Karenanya, bagi sebagian mereka yang memiliki fasilitas yang memadai, membaca adalah kebiasaan yang sulit dihilangkan.

Pada dasarnya, salah satu akar keilmuan yang menghasilkan pencerahan kehidupan di masyarakat, didapatkan dari proses menelaah beragam ilmu pengetahuan. Yang tentu saja salah satunya berasal dari buku. Sederhananya, semakin sering seseorang membaca, maka akan semakin banyak ilmu yang akan didapatkannya. Mengapa? Karena buku adalah jendela dunia.

Di tengah massifnya perkembangan media sosial, kebiasaan membaca buku di masyarakat semakin menurun. Pada umumnya, masyarakat Indonesia lebih sering membaca status di media sosial dibandingkan menelaah buku. Padahal, kekayaan dan keutuhan ilmu tidak didapatkan dari catatan-catatan pendek. Melainkan ditelaah dan digali lewat buku.

Di era modern, jendela dunia sebagaimana pada umumnya telah disematkan pada buku, pelan-pelan mulai memudar untuk ditelah dan dibaca. Tak sedikit, kita temukan individu yang dengan cepat puas hanya dengan bermodal beberapa status pendek di media sosial. Kemudian mengambil kesimpulan atas fenomena sosial. Ironisnya lagi, buku ditinggalkan begitu saja. Menjadi pajangan untuk memperindah rumah. Dugaan saya, cara demikian dilakukan supaya pemiliknya dapat memanipulasi persepsi publik, seolah pemilknya memiliki kecintaan pada buku.

Tentu saja itu berbeda dengan sebagian masyarakat Barat. Buku masih menjadi sumber referensi terpenting. Meski tidak lagi berbentuk fisik--karena sebagian sudah tergantikan oleh e-book--tetapi daya dorong untuk menjadikan buku sebagai sumber pengayaan keilmuan masih terus terpelihara. Bahkan mungkin berkembang pesat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline